Tuesday, January 31, 2012

Kemang binjai

Klasifikasi ilmiah: Kerajaan: Plantae; Filum: Magnoliophyta; Kelas: Magnoliopsida; Ordo: Sapindales; Famili: Anacardiaceae; Genus: Mangifera; Spesies: Mangifera kemanga; Sinonim: Mangifera polycarpa, Mangifera caesia. Nama binomial Mangifera kemanga (Blume, 1850).

Kemang (Mangifera kemanga) merupakan tanaman yang mulai langka di Indonesia. Padahal, konon dari nama pohon sejenis mangga ini nama daerah Kemang di Jakarta berasal. Pohon kemang yang mempunyai buah khas berbau harus menusuk dengan rasa yang masam manis ini juga telah ditetapkan sebagai flora identitas kabupaten Bogor, Jawa Barat. Sayangnya, tumbuhan ini mulai langka dan sulit ditemukan.
Tanaman kemang yang makin langka ini sering kali dianggap sebagai spesies yang sama dengan binjai, namun sejumlah pakar memisahkannya dalam jenis yang berbeda. Flora identitas kabupaten Bogor ini mempunyai nama Indonesia, kemang. Di daerah Kalimantan Timur sering disebut sebagai palong sedangkan berdasarkan nama ilmiah, kemang dinamai Mangifera kemanga yang bersinonim dengan Mangifera polycarpa dan Mangifera caesia.
Ciri-ciri Kemang. Pohon kemang tingginya mampu mencapai 45 m dengan garis tengah batang mencapai 120 cm. Tajuk tumbuhan langka ini berbentuk menyerupai kubah dengan percabangan yang tidak terlalu rapat. Kulit batang kemang berlekah dan mengandung getah yang dapat menyebabkan iritasi.

Daun kemang berbentuk jorong sampai lanset. Daun-daunnya seringkali mengumpul di ujung-ujung percabangan. Tangkai daun agak duduk (bertangkai sangat pendek) pada ranting. Tepi daun tanaman yang langka ini terlihat menyempit di sekitar pangkal daunnya.
Perbungaan malai di ujung-ujung percabangan. Bunga kemang (Mangifera kemanga) berwarna merah muda pucat dan beraroma harum. Buah kemang , berbentuk bulat telur terbalik sampai lonjong dengan kulit buah tipis dan berwarna coklat kuning suram apabila masak. Daging buah kemang berwarna keputihan, lunak, berair dan berserat. Aroma buah kemang sangat khas dan tajam sedangkan rasa buahnya mulai asam sampai manis. Biji kemang jorong sampai lanset.
Musim berbunga pohon kemang dimulai bulan Oktober sampai Desember. Sedang musim berbuahnya terjadi pada musim penghujan yaitu mulai bulan November sampai Maret.
Habitat, Persebaran, dan Pembudidayaan. Pohon kemang umumnya tumbuh di dataran rendah di daerah tropika basah di bawah ketinggian 400 m dpl. walaupun dapat dijumpai juga hingga ketinggian 800 m dpl. Tanaman penghasil buah langka ini memerlukan persebaran curah hujan yang merata sepanjang tahun dan tumbuh baik di pinggiran sungai yang secara berkala tergenang air.
Pohon langka kemang ini tersebar secara alami di semenanjung Malaya, Sumatera, Kalimantan, dan Jawa terutama bagian barat. Di sekitar Kabupaten Bogor, tumbuhan ini banyak dibudidayakan sehingga tidak mengherankan jika kemudian berdasarkan SK Bupati Nomor 522/185/kpts/Huk/1996, kemang ditetapkan sebagai flora identitas kabupaten Bogor. Konon, nama daerah Kemang di Jakarta juga bermula dari banyak dijumpainya tumbuhan ini di daerah tersebut pada masa silam.
Kemang biasanya ditanam di pekarangan dan di kebun-kebun serta di pinggiran/bantaran sungai. Perbanyakan tanaman kemang tidak terlalu sulit, umumnya dengan cara mengecambahkan bijinya. Namun dimungkinkan juga dengan cara enten.
Pemanfaatan. Kemang banyak dimanfaatkan buahnya yang dimakan segar ketika buah telah masak. Buah langka ini juga dijadikan campuran dalam es buah atau digunakan juga sebagai bahan pembuatan sirup (sari buah).

 Buah yang masih muda sering dimanfaatkan sebagai bahan rujak. Biji buah kemang juga sering dimakan dengan diiris-iris tipis dan setelah dibumbui dan ditambahi kecap. Sedangkan daun kemang yang masih muda sering dijumpai dipergunakan oleh masyarakat Sunda sebagai lalapan.



Monday, January 30, 2012

Konstruksi Rumah Panggung

Menurut Josep Prijotomo (1998) pilihan mengangkat bangunan di atas permukaan tanah bukanlah sekedar mengatasi banjir, menghindari kelembaban atau menghindari binatang buas, melainkan mengandung intensi menjaga ekologis bumi agar tidak rusak oleh pondasi. Selain itu semakin banyak tanah yang tertutup oleh bangunan akan membuat tanah sukar menyerap air. Hal itu terlihat, bahwa serangan banjir setiap tahun tidak terhindarkan karena semakin banyak tanah yang tertutup oleh bangunan-bangunan baru membuat air semakin sukar terserap oleh tanah.

Konstruksi rumah panggung harus ringan, maka dari itu, biasanya menggunakan konstruksi kayu dengan pondasi umpak, karena selain lebih ringan dari konstruksi beton, juga sudah teruji kekuatannya mengingat dari dulu nenek moyang kita sudah menggunakan bahan ini sebagai bahan pembuat rumah. Sambungan ditiap pertemuan kayu biasanya juga menggunakan kayu. Hal ini berguna apabila bangunan terkena gempa. Sambungan yang terbuat dari kayu bersifat lentur sehingga memungkinkan bangunan bergerak mengikuti arah gempa. Hal ini akan membuat konstruksi terhindar dari patahan struktur. Tapi sebenarnya rumah panggung bisa dibuat dari bahan apa saja selain kayu, misal bambu dan beton.

Tahap pembangunan rumah Lubai

 Kayu bulat bahan pembuatan rumah panggung

Bagian bawah rumah

Tiang Rumah

Rumah tradisonal Lubai berbentuk rumah panggung. Pembangunan rumah tradsional Lubai dimulai dengan peletakan tiang. Tiang adalah bagian bawah rumah yang berfungsi sebagai tongkat untuk menahan beban bagian-bagian rumah yang lain. Tiang ini sangat menentukan kekokohan sebuah bangunan rumah. Oleh karena itu, bahan-bahan yang digunakan untuk membuat tiang harus dari jenis-jenis kayu yang keras.

Tiang rumah tradisional Lubai berbentuk bulat dari jenis kayu gehunggang, bunggur, leban dan tembesu. Kayu bulat yang dipergunakan dengan diameter antara 20-40 cm, sedangkan tingginya 150 - 170 cm. Kayu-kayu untuk dijadikan tiang dipotong-potong sesuai ukuran yang telah ditentukan, bagian-bagian membonggol ditarah dengan menggunakan kapak/parang. Besar kecilnya ukuran tiang yang dibutuhkan tergantung pada ukuran rumah yang akan dibangun.

Rumah tradisional Lubai mempunyai tiangnya berjumlah 15 buah yaitu tersusun tiga deretan dari kiri ke kanan dan lima deretan dari depan ke belakang. Tiang-tiang tersebut dimasukkan pada lobang galian di dalam tanah, dengan kedalaman 40 cm. Sebelum tiang dipasang terlebih dahulu tiang bagian atas diseping untuk pemasangan kitau.

Kitau Rumah

Kitau adalah kayu yang dipasang diatas tiang itu, dipasang secara memanjang dari depan ke belakang. Kitau berbentuk persegi empat dengan jenis kayu gehunggang, menteru dalam base Lubai cekhu. Pemasangan kitau di atas tiang tidak menggunakan paku, tetapi dipasangkan pada bagian atas tiang yang telah diseping. Kitau ini ada tiga yaitu sejumlah deretan tiang dari depan ke belakang.

Cara pemasangan kitau yaitu dipasang secara memanjang dari depan ke belakang. Kitau diproses dari kayu bulan berdiamater kitau antara 20 -25 cm dan panjangnya minimal 6 depa maksimal 8 depa. Proses pembuatan kitau yaitu kayu bulat di tarah menggunakan parang besar dalam bahasa Lubai disebut pisau kimpalan sampai dengan membentuk persegi empat. Pemasangan kitau di atas tiang tidak menggunakan paku, tetapi dipasangkan pada bagian atas tiang yang telah diseping. Kitau ini ada tiga yaitu sejumlah deretan tiang dari depan ke belakang.

Penulis pernah menyaksikan pembuatan sebatang kitau pada tahun 1970 di desa Jiwa Baru. Ayahanda penulis membuat sebatang kitau dari jenis kayu menteru. Mula mula diambil sebatang kayu ukuran sebesar ibu jari, lalu dipotong sepanjang ukuran depa ukuran ayahanda. Depa yaitu ukuran tangan kanan dan kiri saat dibuka lebar-lebar. Kayu yang telah dipotong ukuran sedepa itu, diletakan diatas kayu bulat dari jensi menteru sebanyak 8 kali artinya kitau ini akan dibuat ukuran 8 depa. Proses selanjutnya kayu bulat tersebut dibacok ataupun ditarah sampai dengan ukuran yang dikehendaki antara 20 - 25 cm.

Belandar rumah

Belandar adalah kayu bulat yang dipasang melintang pada kitau-kitau rumah tradisional Lubai. Balok ini berfungsi sebagai penopang lantai dan memperkuat bangunan rumah. Kayu bulat untuk dijadikan belandar rata-rata ukuran 10-15 cm, dari jenis kayu pelapang. Proses pemasangannya yaitu dengan cara kayu bulat untuk belandar di taruh berjejer dari arah depan ke belakang dengan jarak 30-40 cm.

Tangga rumah

Tangga untuk rumah tradisional Lubai pada umumnya berjumlah ganjil, yaitu berpedoman pada empat filosofi atau empat sukatan yaitu taka, tangga, tunggu dan tinggal. Taka berarti bertingkat atau meningkat; tangga bermakna sekedar tangga atau tidak ada perkembangan; tunggu berarti selalu ditunggu atau kerasan; sedangkan tinggal berarti selalu ditinggalkan atau tidak kerasan.

Bahan untuk pembuatan tangga adalah papan dari jenis kayu keras seperti leban, bunggur, petaling, ukuran lebar 25 cm panjang 400 cm dan ketebalan 10 cm. Jumlah anak tangga minimal lima papan, maksimal 9 papan. Jarak antara anak tangga 25 - 30 cm. Biasanya tangga rumah ini dilengkapi dengan pegangan tangan.

Bagian tengah rumah

Proses pembuatan bagian tengah rumah merupakan pekerjaan inti pembangunan rumah tradisional Lubai. Pemasangan dinding didahulukan, baru kemudian pemasangan galar, papan untuk dinding, lantai setelah disugu atau diketam agar permukaannya halus.

Proses pembangunan bagian tengah rumah tradisional Lubai sebagai berikut:

Sake

Pemasangan sake, yaitu tempat melekatkan dinding. Sake-sake tersebut biasanya dipasang pada sudut-sudut bangunan dan batas undakan. Proses pembuatan sake yaitu kayu balok ukuran 15 cm x 15 cm panjang 400 cm di sugu, dibuatkan putingnya. Puting sake dibagian bawah dimasukkan kedalam lubang kitau.

Geladak

Pemasangan lantai dalam bahasa Lubai disebut geladak pada belandar-belandar. Proses pembuatan lantai yaitu papan dari jenis kayu meranti, medang dan ngerawan disugu. Papan yang dipergunakan ukuran lebar 25 cm panjang 400 cm dan tebal 3 cm.

Sente

Pemasangan sente pada pada sake-sake yang dipasang pada sisi rumah dihubungkan dengan sente-sente. Pada sente-sente inilah nantinya dinding rumah dipasang. Proses pembuatan sente yaitu kayu balok ukuran 6 cm x 8 cm panjang 400 cm di sugu.

Jenang

Pemasangan jenang untuk tempat pintu kamar dan dapur, dan juga bisa dimulai pemasangan rangka jendela. Di atas jenang biasanya diberi ram, sebagai ventilasi udara.

Dinding

Pemasangan dinding pada sente-sente. Proses pembuatan dinding yaitu papan dari jenis kayu meranti, medang dan ngerawan disugu. Papan yang dipergunakan ukuran lebar 25 cm panjang 400 cm dan tebal 3 cm.

Lawang
Pemasangan pintu (lawang) dan jendela (jendile).

Bagian atas rumah

Pekerjaan bagian atas yang utama adalah menaikkan bubungan. Pekerjaan ini dilaksanakan untuk pemasangan bagian atap seperti tiang bubungan dan yang lainnya. Pada saat melakukan pekerjaan naik bubungan ini dilaksanakan upacara selamatan yaitu upacara naik atap atau naik bubungan. Bagian atas rumah selanjutnya terdiri dari pemasangan alang panjang, pengerap atau alang pelintang, kude-kude alang sunan atau tunjuk langit, kasau, tumbukan kasau, reng dan pemasangan atap.

Adapun proses pengerjaannya adalah sebagai berikut:

Alang Panjang

Pemasangan alang panjang dengan cara dibuat lubang untuk memasukkan puting-puting baik yang ada sake ataupun pada jenang.

Pengerap

Pemasangan pengerap atau alang pelintang di atas alang panjang.

Kude kude

Pemasangan kude-kude.

Tunjuk Langit
Pemasangan tunjuk langit.

Rambatan Tikur

Pemasangan rambatan tikus, di bagian tengah rangka kap, agar kap tersebut lebih kuat.

Kasau

Pemasangan kasau di atas rambatan tikus dan alang panjang. Jumlah kasau yang dipasang disesuaikan dengan hitungan : kasau, langkau, penurun, bangkai dan kembali lagi pada hitungan kasau. Jumlah paling baik adalah ketika hitungan berhenti pada kata kasau.

Tumbukan Kasau
Pemasangan tumbukan kasau. Setelah semua kasau terpasang, maka ujung-ujungnya dipotong rata lalu ditutup dengan sekeping papan yang disebut tumbukan kasau.

Reng
Pemasangan reng-reng di atas kasau. Reng-reng tersebut berfungsi sebagai penahan dan tempat memasang atap.

Atap
Pemasangan atapnya, biasanya menggunakan menggunakan genteng.

Simbar

Pemasangan simbar pada ujung pertemuan atap dengan alang sunan dan sisi tegak bentuk Limas.


Pagu

Pembuatan pagu atau langit-langit ruangan.






Saturday, January 28, 2012

Pohon Tanjung

  1. Rangka Utama Rumah Menggunakan Kayu Jenis Meranti/Seru.
  2. Rangka Atap Menggunakan Kayu Jenis Seru ( Kayu Puspa )
  3. Kusen Pintu/Jendela Menggunakan Kayu Jenis Meranti Merah
  4. Kunci/Engsel Mutu Sedang
  5. Lantai Menggunakan Kayu Meranti
  6. Dinding Menggunakan Kayu Jenis Meranti Merah
  7. Plafon Datar Menggunakan Kayu Durian
  8. Renda Pagar Menggunakan Kayu Durian
  9. Daun Pintu/Jendela Menggunakan Kayu Jenis Meranti Merah
  10. Kaca Riben/Bening
  11. Atap Standart Dari Daun Rumbia
  12. Tiang Standart Segi Empat

Pemeliharaan rumah Lubai

Umumnya kayu dan papan hanya dilapisi minyak atau digosok dengan ampas kelapa, agar kayu itu nantinya menjadi lebih mengkilat atau memperjelas tekstur kayu sehingga tampak estetis dan menjadi kedap air atau tidak mudah lapuk.Proses pemberian minyak atau penggosokan dilakukan secara berulang-ulang sehingga warna kayu Rumah Ulu berubah menjadi merah kehitam-hitaman.

Tundan rumah Lubai

Pada bagian luar dekat dapur terdapat tundan. Dari dapur ke tundan melewati pintu yang berukuran tinggi 153 cm dan lebar 71 cm. Bagian bawah pintu yang menghubungkan antara dapuir dan tundan dibuat ‘langkahan’ atau pijakan dengan ukuran tinggi 12 cm dan lebar 7 cm.

Ruang Lentuan rumah Lubai


Pada ruang lentuan terdapat sebuah jendela dengan dua arah bukaan ke samping kiri dan kanan yang dinamakan jendela ingkap. Berukuran lebar 132 cm dan tinggi 74 cm. Jendela tersebut menghadap ke arah belakang rumah.

Lantai ruang gedongan dibuat lebih tinggi. Dibandingkan dengan lantai ruang lainnya, ruang gedongan berukuran lebar 220 cm dengan panjangnya 574 cm. Jarak ketinggian antara lantai ruang pemidangan tengah dengan lantai lentuan adalah 19 cm.

Ruang Pemidangan rumah Lubai

Dari ruang pemidangan depan ke ruang pemidangan tengah melewati satu pintu berukuran tinggi 210 cm dan lebar 90 cm. Pada bagian bawah pintu terdapat langkahan dengan ukuran tinggi 40 cm dan lebar 23 cm. Pada daun pintu bagian tengah dipasang ukiran ‘matahari’ yang merupakan lambang kehidupan. Pemasangan pintu memakai pasak, tidak menggunakan engsel. Dengan demikian bila pintu dibuka menimbulkan bunyi, sehingga bila terjadi serangan akan ketahuan.Pintu dibuat satu bukaan dan pembukaan pintu adalah dari kiri ke kanan atau tangan kiri yang membuka agar bila orang mengetuk pintu ternyata tiba-tiba menyerang, maka tuan rumah atau yang membukakan pintu akan bisa menangkis atau menyerang balik dengan tangan kanan.

Lantainya terbikin dari papan pilihan seperti kayu medang, cempaka, meranti. Pada ruang pemidangan tengah, di antara lantainya dipasang kayu empat persegi panjang dengan ukuran tinggi 12,5 cm dan lebar 8,5 cm. Sedangkan panjangnya adalah sepanjang ruangan pemidangan tengah yakni 650 cm. Kayu empat persegi panjang itu berfungsi sebagai pijakan atau tempat lalu-lintas yang disebut pengerat. Pengerat membelah lebar lantai ruang pemidangan sehingga lantai tersebut terbagi menjadi dua; pada sebelah kiri (dekat ruang tempuan) lebar lantainya 112 cmm, sedangkan pada sebelah kanan (dekat ruang gedongan) lebar lantainya 278 cm. Itu berarti lebar keseluruhan lantai ruang pemidangan tengah 390 cm.

Belandar rumah Lubai


Belandar adalah kayu bulat yang dipasang melintang pada kitau-kitau rumah tradisional Lubai. Balok ini berfungsi sebagai penopang lantai dan memperkuat bangunan rumah. Kayu bulat untuk dijadikan belandar rata-rata ukuran 10-15 cm. 
Proses pemasangannya yaitu dengan cara kayu bulat untuk belandar di taruh berjejer dari arah depan ke belakang dengan jarak 30 cm.

Friday, January 27, 2012

Atas rumah tradisional Lubai

Hutan tempat mengumpulkan bahan bangunan rumah.

Pekerjaan bagian atas yang utama adalah menaikkan bubungan. Pekerjaan ini dilaksanakan untuk pemasangan bagian atap seperti tiang bubungan dan yang lainnya. Pada saat melakukan pekerjaan naik bubungan ini dilaksanakan upacara selamatan yaitu upacara naik atap atau naik bubungan. Bagian atas rumah selanjutnya terdiri dari pemasangan alang panjang, pengerap atau alang pelintang, kude-kude alang sunan atau tunjuk langit, kasau, tumbukan kasau, reng dan pemasangan atap.

Adapun proses pengerjaannya adalah sebagai berikut:
  1. Pemasangan alang panjang dengan cara dibuat lubang untuk memasukkan putting-putting baik yang ada sake ataupun pada jenang. 
  2. Pemasangan pengerap atau alang pelintang di atas alang panjang.  
  3. Pemasangan kude-kude. 
  4. Pemasangan tunjuk langit
  5. Pemasangan rambatan tikus, di bagian tengah rangka kap, agar kap tersebut lebih kuat. 
  6. Pemasangan kasau di atas rambatan tikus dan alang panjang. Jumlah kasau yang dipasang disesuaikan dengan hitungan : kasau, langkaupenurun, bangkai dan kembali lagi pada hitungan kasau. Jumlah paling baik adalah ketika hitungan berhenti pada kata kasau. 
  7. Pemasangan tumbukan kasau. Setelah semua kasau terpasang, maka ujung-ujungnya dipotong rata lalu ditutup dengan sekeping papan yang disebut tumbukan kasau. 
  8. Pemasangan reng-reng di atas kasau. Reng-reng tersebut berfungsi sebagai penahan dan tempat memasang atap. 
  9. Pemasangan atapnya, biasanya menggunakan menggunakan genteng. 
  10. Pemasangan simbar pada ujung pertemuan atap dengan alang sunan dan sisi tegak bentuk Limas. 
  11. Pembuatan pagu atau langit-langit ruangan.

Tengah rumah tradisional Lubai


Pengerjaan bagian tengah merupakan pekerjaan inti pembangunan rumah tradisional Lubai. Pemasangan dinding didahulukan, baru kemudian pemasangan galar, papan untuk dinding, lantai setelah disugu atau diketam agar permukaannya halus.  
Proses pembangunan bagian tengah rumah tradisional Lubai sebagai berikut:
  1. Pemasangan sake, yaitu tempat melekatkan dinding. Sake-sake tersebut biasanya dipasang pada sudut-sudut bangunan dan batas undakan.  
  2. Pemasangan sente pada pada sake-sake yang dipasang pada sisi rumah dihubungkan dengan sente-sente. Pada sente-sente inilah nantinya dinding rumah dipasang. 
  3. Pemasangan jenang untuk tempat pintu kamar dan dapur, dan juga bisa dimulai pemasangan rangka jendela. Di atas jenang biasanya diberi ram, sebagai ventilasi udara. 
  4. Pemasangan dinding pada sente-sente. 
  5. Pemasangan pintu (lawang) dan jendela (jendele). 

Bawah rumah tradisonal Lubai

 Kayu bulat bahan pembuatan rumah panggung
Tiang Rumah

Rumah tradisonal Lubai berbentuk rumah panggung. Pembangunan rumah tradsional Lubai dimulai dengan peletakan tiang. Tiang adalah bagian bawah rumah yang berfungsi sebagai tongkat untuk menahan beban bagian-bagian rumah yang lain. Tiang ini sangat menentukan kekokohan sebuah bangunan rumah. Oleh karena itu, bahan-bahan yang digunakan untuk membuat tiang harus dari jenis-jenis kayu yang keras.

Tiangnya berbentuk bulat dari jenis kayu gehunggang, bunggur, leban dan tembesu dengan diameter antara 20-40 cm, sedangkan tingginya 150 - 170 cm. Kayu-kayu yang akan dijadikan tiang dipotong-potong sesuai ukuran yang telah ditentukan serta bagian-bagian membonggol ditarah dengan menggunakan kapak/parang. Besar kecilnya ukuran tiang yang dibutuhkan tergantung pada ukuran rumah yang akan dibangun.

Rumah tradisional Lubai mempunyai tiangnya berjumlah 15 buah yaitu tersusun tiga deretan dari kiri ke kanan dan lima deretan dari depan ke belakang. Tiang-tiang tersebut dimasukkan pada lobang galian di dalam tanah, dengan kedalaman 40 cm. Sebelum tiang dipasang terlebih dahulu tiang bagian atas diseping untuk pemasangan kitau.

Di atas tiang itu, dipasang kitau dipasang secara memanjang dari depan ke belakang. Kitau berbentuk persegi empat dengan jenis kayu gehunggang, menteru dalam base Lubai cekhu. Diamater kitau antara 20 cm. Pemasangan kitau di atas tiang tidak menggunakan paku, tetapi dipasangkan pada bagian atas tiang yang telah diseping. Kitau ini ada tiga yaitu sejumlah deretan tiang dari depan ke belakang.

Kitau Rumah

Rumah tradisional Lubai, di atas tiang berjumlah 15 batang itu, dipasang kitau. Car pemasangan kitau yaitu dipasang secara memanjang dari depan ke belakang. Kitau berbentuk persegi empat dari jenis kayu gehunggang, menteru dalam base Lubai cekhu. Diamater kitau antara 20 -25 cm dan panjangnya minimal 6 depa maksimal 8 depa. Proses pembuatan kitau yaitu kayu bulat di tarah menggunakan parang besar dalam bahasa Lubai disebut pisau kimpalan sampai dengan membentuk persegi empat.

Pemasangan kitau di atas tiang tidak menggunakan paku, tetapi dipasangkan pada bagian atas tiang yang telah diseping. Kitau ini ada tiga yaitu sejumlah deretan tiang dari depan ke belakang.

Penulis pernah menyaksikan pembuatan sebatang kitau pada tahun 1970 di desa Jiwa Baru. Ayahanda penulis membuat sebatang kitau dari jenis kayu menteru. Mula mula diambil sebatang kayu ukuran sebesar ibu jari, lalu dipotong sepanjang ukuran depa ukuran ayahanda. Depa yaitu ukuran tangan kanan dan kiri saat dibuka lebar-lebar. Kayu yang telah dipotong ukuran sedepa itu, diletakan diatas kayu bulat dari jensi menteru sebanyak 8 kali artinya kitau ini akan dibuat ukuran 8 depa. Proses selanjutnya kayu bulat tersebut dibacok ataupun ditarah sampai dengan ukuran yang dikehendaki antara 20 - 25 cm.

Belandar rumah

Belandar adalah kayu bulat yang dipasang melintang pada kitau-kitau rumah tradisional Lubai. Balok ini berfungsi sebagai penopang lantai dan memperkuat bangunan rumah. Kayu bulat untuk dijadikan belandar rata-rata ukuran 10-15 cm. Proses pemasangannya yaitu dengan cara kayu bulat untuk belandar di taruh berjejer dari arah depan ke belakang dengan jarak 30 cm.

Tangga rumah

Tangga untuk rumah tradisional Lubai pada umumnya berjumlah ganjil, yaitu berpedoman pada empat filosofi atau empat sukatan yaitu taka, tangga, tunggu dan tinggal.  Taka berarti bertingkat atau meningkat; tangga bermakna sekedar tangga atau tidak ada perkembangan; tunggu berarti selalu ditunggu atau kerasan; sedangkan tinggal berarti selalu ditinggalkan atau tidak kerasan.

Bahan untuk pembuatan tangga adalah papan dari jenis kayu keras seperti Leban, Bunggur, Petaling, ukuran lebar 25 cm panjang 400 cm dan ketebalan 10 cm. Jumlah anak tangga minimal lima papan, maksimal 9 papan. Jarak antara anak tangga 25 - 30 cm. Biasanya tangga rumah ini dilengkapi dengan pegangan tangan.
Setelah naik melalui tangga maka ruang pertama yang dijumpai adalah pantau atau beranda rumah yakni ruangan terbuka berukuran panjang 250 cm dan lebar 200 cm.

Pance

Pada halaman bawah sejajar dengan tiang terdapat pance untuk tempat duduk berukuran lebar 100 cm, panjang 236 cm dan tinggi 71 cm. Pance diletakkan di depan rumah. Pance, begitu istilah yang merujuk kepada sebuah tempat di halaman depan rumah. dengan konstruksi sederhana dari kayu atau bambu, dengan alas untuk duduk-duduk terbuat dari bambu atau kayu, dengan atau tanpa atap.

Ukuran dan bentuknya beragam sesuai keinginan si empunya rumah, mulai dari seukuran (seperti) bangku Sekolah zaman dahulu kala, hingga seukuran kamar standar. Biasanya diletakkan di bawah kayu pohon peneduh terutama pada pance yang tidak beratap, atau di depan rumah dekat tangga atau di depan dinding rumah..
Selain digunakan sebagai tempat duduk-duduk santai selayaknya gazebo, pance juga menjadi alternatif tempat menenun, merajut, mengasuh anak, bahkan menjadi tempat hingga tempat tidur (baca: begadang/bedalu).

Tuesday, January 24, 2012

Sistem pendidikan suku Lubai

Masyarakat Lubai menggangap sistem pendidikan ini sangat penting. Hal ini dapat dilihat dari bangunan gedung sekolah dari tingkat Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas saat ini telah tersedia di Lubai. 
Pendidikan formal diawali pada periode zaman pemerintahan Hindia Belanda. Pada masa ini anak dari masyarakat biasa, hanya sampai dengan pendidikan Sekolah Rakyat ”SR” Anak seorang Depati atau adipati dapat melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Periode awal kemerdekaan Republik Indonesia sampai dengan tahun 1970-an anak-anak masyarakat Lubai telah banyak mengikuti kegiatan pendidikan formal sampai jenjang Sekolah Menengah Atas. Periode 1970 sampai dengan sekarang anak-anak masyarakat Lubai telah banyak mengikuti jenjang pendidikan tinggi dan telah berhasil menyandang gelar srata 1 (Sarjana) dan srata 2 (Magister)
Pendidikan non formal masyarakat Lubai mengikuti beberapa kegiatan pelatihan yang diselenggarakan oleh tokoh agama, tokoh adat dan tokoh masyarakat. Kegiatan latihan ketrampilan membaca Al Qur’an dan pembentukan akhlak karimah diselenggarakan oleh tokoh agama. Kegiatan latihan ketrampilan seni tari dan pantun bersahut diselenggarakan oleh tokoh adat. Kegiatan latihan ketrampilan meningkatkan pertanian diselenggarakan oleh tokoh masyarakat. 

Pendidikan in formal masyarakat Lubai melaksanakan sesuai dengan adat istiadat yang ada saat ini. Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan yang berbentuk kegiatan belajar secara mandiri.Kegiatan ini dilaksanakan dirumah masing masing keluarga di Lubai.

Terdapat faktor yang dapat mempengaruhi kegiatan proses sistem pembelajaran, di antaranya faktor guru, faktor siswa, sarana- prasarana, alat, dan media yang tersedia, serta faktor lingkungan.
  1. Faktor Guru. Guru adalah komponen yang sangat menentukan dalam implementasi suatu strategi pembelajaran. Tanpa guru, bagaimanapun bagus dan idealnya suatu strategi, maka strategi itu tidak mungkin bisa diaplikasikan. Keberhasilan implementasi suatu strategi pembelajaran akan tergantung pada kepiawaian guru dalam menggunakan metode, teknik, dan taktik pembelajaran. Diyakini, setiap guru akan memiliki pengalaman, pengetahuan, kemampuan, gaya, dan bahkan pandangan yang berbeda dalam mengajar. Guru yang menganggap mengajar hanya sebatas menyampaikan materi pelajaran akan berbeda dengan guru yang menganggap mengajar adalah suatu proses pemberian bantuan kepada siswa. Masing-masing perbedaan tersebut dapat mempengaruhi baik dalam penyusunan strategi atau implementasi pembelajaran. 
  2. Faktor Siswa. Siswa adalah organisme yang unik yang berkembang sesuai dengan tahap perkembangannya. Perkembangan anak adalah perkembangan seluruh aspek kepribadiannya, akan tetapi tempo dan irama perkembangan masing-masing anak pada setiap aspek tidak selalu sama. Proses pembelajaran dapat dipengaruhi oleh perkembangan anak yang tidak sama, di samping karakteristik lain yang melekat pada diri anak. 
  3. Faktor Sarana dan Prasaran. Sarana adalah segala sesuatu yang mendukung secara langsung terhadap kelancaran proses pembelajaran, misalnya media pembelajaran, alat-alat pelajaran, perlengkapan sekolah, dan lain sebagainya. Sedangkan prasarana adalah segala sesuatu yang secara tidak langsung dapat mendukung keberhasilan proses pembelajaran, misalnya jalan menuju sekolah, penerangan sekolah, kamar kecil, dan lain sebagainya. Kelengkapan sarana dan prasarana akan membantu guru dalam penyelenggaraan proses pembelajaran, dengan demikian sarana dan prasarana merupakan komponen penting yang dapat mempengaruhi proses pembelajaran. 
  4. Faktor Lingkungan. Dilihat dari dimensi lingkungan ada dua faktor yang dapat mempengaruhi proses pembelajaran, yaitu faktor organisasi kelas, dan faktor iklim sosial- psikologis. Faktor organisasi kelas yang di dalamnya meliputi jumlah siswa dalam satu kelas merupakan aspek penting yang bisa mempengaruhi proses pembelajaran. Organisasi kelas yang terlalu besar akan kurang efektif untuk mencapai tujuan pembelajaran.
Kesimpulan : Sistem pendidikan suku Lubai dapat terlaksana dengan baik, manakala beberapa faktor pendukung saling bersinerji.

Sistem Kekerabatan suku Lubai

Sistem kekerabatan masyarakat Lubai menganut sistem kekerabatan patrilineal. Patrilineal adalah suatu adat masyarakat yang alur keturunan atau sistem kekeluargaan yang menarik garis keturunan dari keturunan pihak laki-laki yang jika terjadi sesuatu pihak ayah yang akan bertanggungjawab.

Patrilineal berasal dari dua kata, yaitu pater (bahasa Latin) yang berarti “ayah”, dan linea (bahasa Latin) yang berarti “garis”. Jadi, “patrilineal” berarti mengikuti “garis keturunan yang ditarik dari pihak ayah”. Sistem kekerabatan suku Lubai yang menghitung garis keturunan secara patrilineal, yaitu memperhitungkan anggota keluarga menurut garis keturunan dari ayah. Orang-orang yang berasal dari satu keturunan pihak ayah disebut sejurai ataupun sering juga disebut seguguk.

Masyarakat desa Jiwa Baru kecamatan Lubai kabupaten Muara Enim provinsi Sumatera Selatan, untuk menjelaskan darimana asal usul kekerabatan seseorang itu dengan cara menyebutkan moyangnya. Misalnya penulis sendiri berdasarkan garis keturunan dari ayah termasuk guguk kurungan lembak, sehingga apabila penulis bertemu dengan keturunan  "keturunan puyang Lebi" merupakan guguk kurungan lembak maka dikatakan sanak seguguk ataupun sejurai. Adapun kekerabatan dari pihak Ibu, berdasarkan garis keturunan penulis merupakan keturunan dari guguk kurungan dahat ataupun "keturunan puyang tande" penulis tidak dapat mengaku guguk dari kurungan dahat.

Kesimpulan : Kekerabatan suku Lubai dikenal dengan sebutan guguk ataupun jurai. Saudara satu keturunan dari pikah ayah disebut dengan saudara seguguk ataupun sejurai.

Sistem Hukum suku Lubai

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adat adalah aturan (perbuatan dsb) yang lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu kala; cara (kelakuan dsb) yang sudah menjadi kebiasaan; wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hukum, dan aturan yang satu dengan lainnya berkaitan menjadi suatu sistem. Karena istilah Adat yang telah diserap kedalam Bahasa Indonesia menjadi kebiasaan maka istilah hukum adat dapat disamakan dengan hukum kebiasaan.

Menurut Prof. Mr. Cornelis van Vollenhoven, hukum adat adalah keseluruhan aturan tingkah laku positif yang disatu pihak mempunyai sanksi (hukum) dan dipihak lain dalam keadaan tidak dikodifikasi (adat). Tingkah laku positif memiliki makna hukum yang dinyatakan berlaku disini dan sekarang. Sedangkan sanksi yang dimaksud adalah reaksi (konsekuensi) dari pihak lain atas suatu pelanggaran terhadap norma (hukum).

Berdasarkan pengertian hukum adat diatas bahwa masyarakat Lubai yang bertempat tinggal pada eks marga Lubai suku 1 dan marga Lubai suku 2 telah sistem hukum adat. Informasi yang penulis tulisan ini merupakan kutif dari wawancara dengan ayahanda penulis Muhammad Ibrahim dahulu semasa hidupnya pernah menjadi Sekretaris Pasirah marga Lubai suku 1, Kepala Kampung 1 Desa Baru Lubai, Anggota Dewan Marga Lubai Suku 1.

Hukum adat Lubai yang ada dan masih berlaku sampai dengan sekarang adalah pengusaan harta peninggalan dari ayah diberikan sepenuhnya kepada anak laki-laki tertua. Seseorang anak laki-laki tertua dari sebuah keluarga di Lubai berhak penuh menguasai harta peninggalan keluarganya adapun pembagian kepada saudara yang lainnya tergantung kemufakatan dan keputusan dari anak tertua tersebut.

Kesimpulan : Sistem Hukum suku Lubai baik yang tertulis maupun tidak tertulis, saat ini tidak dapat berjalan sebagaiman mestinya. Saat ini hukum adat sudah semakin kurang kekuatannya. Lembaga Adat hanya merupakan simbol bahwa adat istiadat Lubai harus dilestarikan. Kewajiban harus melaporkan kepada lembaga adat jika akan melaksanakan pernikahan, akan tetapi Lembaga Adat tidak dapat memberikan sanksi hukum terhadap seseorang yang tidak melaporkan perihal pernikahan tersebut.

Sistem Religi suku Lubai

Masalah asal-mulanya dari suatu unsur universal seperti religi, artinya masalah mengapa manusia percaya kepada adanya suatu kekuatan gaib yang dianggapnya lebih tinggi daripadanya, dan mengapa manusia itu melakukan berbagai hal dengan cara-cara yang beraneka warna, untuk berkomunikasi dan mencari hubungan dengan kekuatan-kekuatan tadi, telah lama menjadi pusat perhatian banyak peneliti etnografi.
Dalam memecahkan soal asal-mula dari suatu gejala, sudah jelas orang akan melihat kepada apa yang dianggapnya sisa-sisa dari bentuk-bentuk tua dari gejala itu. Dengan demikian bahan etnorgafi mengenai upacara keagamaan dari berbagai suku bangsa di dunia sangat banyak diperhatikan dalam usaha penyusun teori-teori tentang asal-mula agama.

Unsur-unsur Sistem Religi.
Semua aktivitas manusia yang bersangkutan dengan religi berdasarkan atas suatu getaran jiwa, yang biasanya disebut emosi keagamaan, atau religious emotion. Emosi keagamaan ini biasanya pernah dialami oleh setiap manusia, walaupun getaran emosi itu mungkin hanya berlangsung untuk beberapa detik saja, untuk kemudian menghilang lagi. Emosi keagamaan itulah yang mendorong orang melakukan tindakan-tindakan yang bersifat religi. Emosi keagamaan menyebabkan bahwa sesuatu benda, suatu tindakan, atau suatu gagasan, mendapat suatu nilai keramat, atau sacred value, dan dianggap keramat. Demikian juga benda-benda, tindakan-tindakan atau gagasan-gagasan yang biasanya tidak keramat, yang biasanya profane, tetapi apabila dihadapi oleh manusia yang dihinggapi oleh emosi keagamaaan, sehingga ia solah-olah terpesona, maka benda-benda, tindakan-tindakan dan gagasan-gagasan tadi menjadi keramat.

Suatu sistem religi dalam suatu kebudayaan selalu mempunyai ciri-ciri untuk sedapat mungkin memelihara emosi keagamaan itu diantara pengikut-pengikutnya. Dengan demikian emosi keagamaan merupakan unsur penting dalam suatu religi bersama dengan tiga unsur lain, yaitu 1) sistem keyakinan, 2) sistem upacara keagamaan, 3) suatu umat yang menganut religi itu.

Sistem Religi suku Lubai yang sebagian besar penduduk menganut agama Islam yaitu :
  1. Sistem keyakinan kepada ajaran agama Islam yang harus dipatuhi oleh setiap penduduk Lubai. Hal ini telah berlangsung dari beberapa generasi yang lalu.
  2. Sistem upacara keagamaan masyarakat Lubai sholat Jumát, sholat Tarawih bulan Ramadhan, sholat Idul Fitri dan sholat Idul Adha dilaksanakan di Masjid desa. Selain melaksanakan sholat, berpuasa bulan Ramadhan, membayar zakat pertanian sehabis panen, menunai ibadah Haji merupakan kegiatan keagaamaan yang taat dilakukan oleh masyarakat Lubai. Aplikasi keagaamaan Islam yang tidak kalah pentingnya yaitu menjauhi larangan Allah seperti : tidak boleh mengakui hak milik orang lain, karena dalam ajaran agama islam seseorang mengakui atau mengambil manfaat sesuatu benda milik orang lain tanpa izin merupakan perbuatan mungkar, tidak boleh melakukan perzinahan, perjudian.
  3. Suatu umat yang menganut Sistem Religi suku Lubai berjumlah lebih kurang 40.000 jiwa.
Kesimpulan : Sistem Religi suku Lubai berjalan sesuai dengan ajaran agama Islam, adapun penduduk pendatang dari luar Lubai menjalankan ajaran sesuai dengan keyakinannya.

Sistem Perkawinan suku Lubai


Sistem Perkawinan masyakarakat Lubai menganut perkawinan patrilineal. Sistem perkawinan patrilineal adalah si Bujang harus memberikan uang jujur kepada si Gadis. Uang jujur merupakan simbol pemutus hubungan kekerabatan si gadis kepada pihak keluarganya. Isteri kedudukannya harus patuh dengan hukum kekerabatan suami. Setelah menikah si Gadis masuk sepenuhnya kedalam kekerabatan keluarga suami. Sistem pembayaran jujur secara kontan, dibayar kemudian hari dan tidak dibayar.

Pada beberapa masa yang lalu uang jujur merupakan ketentuan adat yang harus dipenuhi. Besar kecilnya uang jujur tergantung dari kemampuan ekonomi keluarga si bujang. Semakin besar uang jujur maka semakin tinggi juga kedudukan si gadis di masyarakat Lubai.

Beberapa tahap yang harus dilalui pada sistem perkawinan masyarakat Lubai yaitu :
  1. Tahap perkenalan antara si bujang dengan si gadis.
  2. Tahap betepek barang "si bujang memberikan suatu barang kepada sigadis"
  3. Tahap ngule " si bujang memberikan bantuan tenaga dan benda kepada keluarga pihak gadis"
  4. Tahap memadukan rasan "utusan pihak si bujang bekunjung keluarga si gadis"
  5. Tahap benghantat dudul "keluarga si bujang mengantar dodol permintaan si gadis"
  6. Tahap ngantatkan jujur "keluarga si bujang mengantarkan uang permintaan si gadis"
Pada masa kini kebanyakan perkawinan dan pembentukan keluarga adalah atas dasar cinta romantis. Perkembangan sistem pendidikan modern dan proses informasi yang mudah didapat menyebabkan muda mudi Lubai bebas mencari jodoh sendiri. Campur tangan ibu bapa, agak minimal kalau ada pun dalam urusan peminangan dan pelaksanaan perkawinan saja yang dilakukan mengikut ketetapan adat. Oleh karena bebas mencari jodoh sendiri, faktor-faktor seperti ikatan kekeluargaan, latar belakang keluarga, kedudukan ekonomi dan taraf sosial keluarga, dan lain-lain bukan lagi menjadi pertimbangan utama dalam pemilihan jodoh.

Kesimpulan : Sistem perkawinan suku Lubai saat ini tidak mesti menganut patrilineal yaitu si bujang harus memberikan uang jujur sebagai tebusan, sebagai pemutus kekerabatan keluarga si gadis.

Sistem Hak milik suku Lubai

Tanah merupakan salah satu sumber kehidupan yang sangat vital bagi manusia, baik dalam fungsinya sebagai sarana untuk mencari penghidupan di berbagai bidang seperti pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, industri, maupun yang dipergunakan sebagai tempat untuk bermukim dengan didirikannya perumahan sebagai tempat tinggal.

Ketentuan yuridis yang mengatur mengenai eksistensi tanah yaitu terdapat dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA), yang merupakan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Adapun pengejawantahan lebih lanjut mengenai hukum tanah banyak tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan lainnya seperti Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah; Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak atas Tanah; dan lain-lain.
 
Dari berbagai macam hak atas tanah tersebut, hak milik merupakan satu-satunya hak primer yang mempunyai kedudukan paling kuat dibandingkan dengan hak-hak yang lainnya. Hal ini dipertegas dalam ketentuan Pasal 20 ayat (1) UUPA yang berbunyi:  “Hak milik adalah hak turun temurun, terkuat, terpenuh, yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6.”

Turun temurun artinya hak milik atas tanah dapat berlangsung terus selama pemiliknya masih hidup dan bila pemiliknya meninggal dunia, maka hak miliknya dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya sepanjang memenuhi syarat sebagai subjek hak milik. Terkuat artinya hak milik atas tanah lebih kuat dibandingkan dengan hak atas tanah yang lain, tidak mempunyai batas waktu tertentu, mudah dipertahankan dari gangguan pihak lain, dan tidak mudah hapus. Terpenuh artinya hak milik atas tanah memberi wewenang kepada pemiliknya lebih luas bila dibandingkan dengan hak atas tanah yang lain, dapat menjadi induk bagi hak atas tanah yang lain, dan penggunaan tanahnya lebih luas bila dibandingkan dengan hak atas tanah yang lain.

Berdasarkan uraian diatas, sistem hak milik suku Lubai sangat menjunjung tinggi hak milik : perorangan, keluarga, kekerabatan dan hak pedesaan. Hal ini dapat dimaklumi bahwa masyarakat Lubai adalah penganut agama islam yang baik. Hak milik tanah pekarang rumah, tanah peladangan, tanah perkebunan, hutan belukar, hutan rimba, balong atau tebat, dan danau. Apabila ada seseorang yang mengaku hak milik orang lain, akan diangap tidak bermoral dan akan mendapat hukuman sosial dari masyarakat Lubai. 

Namun sayang seiring dengan waktu, peralihan generasi tua ke muda yang tidak berhasil menanamkan nilai-nilai moral yang baik seperti generasi sebelumnya, maka nilai-nilai moral yang luhur itu semakin terkikis dengan aura kematerian. Saat ini pengakuan terhadap hak milik itu mulai tidak nampak nyata, apalagi kalau pemilik itu sudah lama merantau, maka dapat saja hak milik itu berpindah hak kepemilikinya. Bahkan ada sebagian masyarakat Lubai menganggap hal itu wajar-wajar saja berpindahnya hak kepemilikan ini, karena sipemilik tidak mengurusnya lagi maka lahan itu dianggap lahan tak bertuan atau dianggap tidak bertuan.

Kesimpulan : Sistem hak milik suku Lubai mengacu kepada adat istiadat nenek moyang dahulu kala. Adapun pergeseran nilai hak milik itu merupakan perbuatan invidu bukan secara masal oleh masyarakat Lubai.

Pengertian Pranata Sosial

Definsi Pranata Sosial :

Menurut Koentjaraningrat (1979) yang dimaksud dengan pranata-pranata sosial adalah sistem-sistem yang menjadi wahana yang memungkinkan warga masyarakat itu untuk memenuhi kompleks-kompleks kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat. Pranata sosial pada hakikatnya bukan merupakan sesuatu yang bersifat empirik, karena sesuatu yang empirik unsur-unsur yang terdapat didalamnya selalu dapat dilihat dan diamati. Sedangkan pada pranata sosial unsur-unsur yang ada tidak semuanya mempunyai perwujudan fisik. Pranata sosial adalah sesuatu yang bersifat konsepsional, artinya bahwa eksistensinya hanya dapat ditangkap dan dipahami melalui sarana pikir, dan hanya dapat dibayangkan dalam imajinasi sebagai suatu konsep atau konstruksi pikir.

Unsur-unsur dalam pranata sosial bukanlah individu-individu manusianya itu, akan tetapi kedudukan-kedudukan yang ditempati oleh para individu itu beserta aturan tingkah lakunya. Dengan demikian pranata sosial merupakan bangunan atau konstruksi dari seperangkat peranan-peranan dan aturan-aturan tingkah laku yang terorganisir. Aturan tingkah laku tersebut dalam kajian sosiologi sering disebut dengan istilah “norma-norma sosial”.

Herkovits, mengatakan bahwa pranata sosial itu tidak lain adalah wujud dari respon-respon yang diformulasikan dan disistematisasikan dari segala kebutuhan hidup (1952: 229 dalam Harsojo, 1967 : 157). Hetzler (1929 : 67/68 dalam Harsojo, 1967 : 157) secara lebih rinci mendefinisikan pranata sosial itu sebagai satu konsep yang kompleks dan sikap-sikap yang berhubungan dengan pengaturan hubungan antara manusia tertentu yang tidak dapat dielakkan, yang timbul karena dipenuhinya kebutuhan-kebutuhan elementer individual, kebutuhan-kebutuhan sosial yang wajib atau dipenuhinya tujuan-tujuan sosial penting. Konsep-konsep itu berbentuk keharusan-keharusan dan kebiasaan, tradisi, dan peraturan. Secara individual paranta sosial itu mengambil bentuk berupa satu kebiasaan yang dikondisikan oleh individu di dalam kelompok, dan secara sosial pranata sosial itu merupakan suatu struktur. Kemudian Elwood (1925 : 90-91 dalam Harsojo, 1967 : 157), pranata sosial itu dapat juga dikatakan sebagai satu adat kebiasaan dalam kehidupan bersama yang mempunyai sanksi, yang disistematisasikan dan dibentuk oleh kewibawaan masyarakat. Pranata sosial yang penting adalah hak milik, perkawinan, religi, sistem hukum, sistem kekerabatan, dan edukasi (harsojo, 1967 : 158).

Sumber : Internet berbagai website...

Pengertian Etnografi

Etnografi berasal dari kata ethos, yaitu bangsa atau suku bangsa dan graphein yaitu tulisan atau uraian.

Etnografi adalah kajian tentang kehidupan dan kebudayaan suatu masyarakat atau etnik, misalnya tentang adat-istiadat, kebiasaan, hukum, seni, religi, bahasa. Bidang kajian vang sangat berdekatan dengan etnografi adalah etnologi, yaitu kajian perbandingan tentang kebudayaan dari berbagai masyarakat atau kelompok (Richards dkk.,1985).

Istilah etnografi sebenarnya merupakan istilah antropologi, etnografi merupakan embrio dari antropologi, lahir pada tahap pertama dari perkembangannya sebelum tahun 1800 an. Etnogarafi juga merupakan hasil catatan penjelajah eropa tatkala mencari rempah-rempah ke Indonesia. Koentjaraningrat, 1989:1 : “Mereka mencatat semua fenomena menarik yang dijumpai selama perjalanannya, antara lain berisi entang adat isti-adat, susunan masyarakat, bahasa dan ciri-ciri fisik dari suku-suku bangsa tersebut”.

Etnografi yang akarnya antropologi pada dasarnya merupakan kegiatan peneliti untuk memahami cara orang-orang berinteraksi dan bekerjasama melalui fenomena teramati kehidupan sehari-hari. Etnogarafi adalah pelukisan yang sistematis dan analisis suatu kebudayaan kelompok, masyarakat atau suku bangsa yang dihimpun dari lapangan dalam kurun waktu yang sama.

Sehingga secara singkat dapat dipahami, bahwa metode etnografi dalam konteks antropologi, adalah penelitian yang menganalisis bagaimana manusia membangun komunitas dan pola kebudayaannya masing-masing, dalam bentuk dan performa yang berbeda-beda, tentunya.

Etnografi atau yang biasa pula disebut dengan field work adalah merupakan acuan yang paling banyak digunakan di dalam penelitian antropologi, lewat metode partisipasi observasi, dengan melibatkan diri peneliti secara langsung ke dalam masyarakat (subjek) yang ditelitinya atau yang dianalisisnya.
Itulah sebabnya sehingga peneliti dalam konteks etnografi, lebih banyak mengandalkan observasi di awal penelitiannya dan partisipasi (kedekatan) dengan subjek penelitiannya selama research (penelitian) berlangsung.

Sebab untuk menganalisis berbagai aktivitas, pemahaman, penafsiran dan pemaknaan masyarakat terhadap sesuatu, atau terhadap subjek penelitian, peneliti harus lebih intens berkomunikasi dengan masayarakat, terutama tokoh-tokohnya, atau para penentu kebijakan di masyarakat tersebut.

Sunday, January 22, 2012

Resepsi Pernikahan adat Lubai

 Kedua mempelai menuju tempat duduk di pelaminan

Perayaan Resepsi Pernikahan Adat Desa Jiwa Baru Lubai. Desa Jiwa Baru Lubai merupakan merger 2 (dua) desa yaitu Baru Lubai dan Kurungan Jiwa, Kecamatan Lubai, Kabupaten Muara Enim Provinsi Sumatera Selatan. Terletak pada dataran rendah, dilintasi oleh Sungai Lubai. Jarak dari Kota Palembang 120 KM dan dari Kota Batu Raja 70 KM. Mayoritas penduduknya adalah etnis Lubai masuk rumpun suku Ogan. Bahasa yang digunakan adalah mirip bahasa Melayu Deli. Agama yang dianut masyarakat desa Jiwa Baru mayoritas Islam. Mata pencaharian adalah petani Kebon Karet dan Nanas.

 Penulis dan keluarga foto bersama dengan kedua mempelai dalam adat Lubai

Perayaan Resepsi Pernikahan menurut Adat Jiwa Baru adalah sebagai berikut :
Waktu penyelenggara Resepsi Pernikahan adalah pada hari Sabtu malam Minggu dimulai pukul 19.30 sampai dengan pukul 03.00 WIB. Tempat penyelenggaran Resepsi Pernikahan adalah sebuah lapangan pedesaan yang diatasnya didirikan Tenda (dahulu tiangnya dari kayu dan atapnya dari pohon sejenis Rumbia dalam bahasa Lubai Sehedang). Tempat penyelenggaraan Resepsi Pernikahan ini dinamakan Bangsal yang didalamnya terdiri dari : Panggung untuk hiburan (Orkes atau Organ Tunggal) dan Panggung untuk kedua Mempelai Pengantin duduk bersanding serta orangtua masing-masing mempelai serta kursi tamu para undangan; Tamu undangan adalah para pejabat pmerintahan desa, tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama para remaja Putra – Putri dari desa Jiwa Baru. Adapun tamu undangan  dan kaum kerabat yang berdatangan dari jauh Kota Prabumulih, Palembang dan sebagainya pada malam ini belum hadir, dikarenakan pada malam ini khusus hiburan keluarga.

Prosesi Resepsi Pernikahan sebagai berikut :
  1. Kedua mempelai pengantin Putera dan Puteri diringi keluarganya menuju tempat Resepsi Pernikahan. 
  2. Kedua mempelai duduk di kursi pelaminan, namun orang tua mempelai belum duduk di pelaminan. 
  3. Pembukaan oleh protokol pembawa acara.
  4. Kata sambutan ketua panitia.
  5. Kata sambutan pemeritah desa Jiwa Baru.
  6. Hiburan dari Orkes ataupun Organ Tunggal sebanyak 2 (dua) lagu, mengiringi biduanitanya.
  7. Reques lagu dari keluarga.
  8. Tamu kehormatan.
  9. Penutup oleh protokol pembawa acara.
Acara resepsi pernikahan adat Lubai dilanjutkan pada hari Minggu dimulai pukul 08.00 sampai dengan pukul 15.00 WIB. Pada acara lanjutan resepsi pernikahan ini selain dihadiran oleh tamu undangan dari dalam desa Jiwa Baru, biasanya dihadiri juga sanak keluarga dari luar desa, bahkan sanak keluarga dari perantauan.
  1. Kedua mempelai pengantin Putera dan Puteri diringi keluarganya menuju tempat Resepsi Pernikahan. 
  2. Acara adat Lubai yaitu Pantun bersahut.
  3. Kedua mempelai duduk di kursi pelaminan, diapit oleh orang tua mempelai duduk di pelaminan. 
  4. Pembukaan oleh protokol pembawa acara.
  5. Kata sambutan ketua panitia.
  6. Kata sambutan pemeritah desa Jiwa Baru.
  7. Hiburan dari Orkes ataupun Organ Tunggal sebanyak 2 (dua) lagu, mengiringi biduanitanya.
  8. Reques lagu dari keluarga.
  9. Tamu kehormatan.
  10. Selanjutnya acara yang paling meriah, unik dan heboh adalah pelelangan Kue dan Ayam Bakar. Acara lelang ini berlangsung selama 1 (satu) jam. Menurut adat Jiwa Baru, tamu undangan tidak memberikan bingkisan berupa uang di dalam sampul/amplop tetapi melalui acara lelang ini. Uang yang terkumpul lansung disebutnya jumlahnya. Sehingga masyarakat pedesaan dan tamu undangan dapat mengetahui berapa uang yang terkumpul. Sungguh unik dan hebooh  acara pelelangan Kue dan Ayam Bakar.
  11. Tari pengiring pengantin.
  12. Tari jalinan kasih.
  13. Penutup oleh protokol pembawa acara.

Kumpul sanak

Pernikahan dikalangan masyarakat kita sudah menjadi adat kebiasaan bahwa harus dibarengi perhelatan, paling tidak kumpul dan makan bersama. Begitu pula yang terjadi di desa Jiwa Baru kecamatan Lubai kabupaten Muara Enim provinsi Sumatera Selatan. Tentunya dalam suatu perhelatan harus ada persiapan-persiapan. Begitu juga adat kebiasaan yang ada di masyarakat Jiwa Baru. Pada prinsipnya persiapan yang dilakukan hampir sama dengan keadaan “umum” di Indonesia, misalkan pembentukan panitia acara perhelatan, pengumpulan dana dan sebagainya. Perbedaan yang mendasar dari keadaan yang terjadi dimasyarakat Jiwa Baru terletak pada pencarian dana untuk perhelatan.

Kumpul sanak mandas

Kalau yang berlaku diumum bahwa pencarian dana untuk resepsi pernikahan (walimahan) terjadi pada waktu acara resepsi itu pun setelah ada dana pribadi atau bantuan dari sanak saudara, maka yang terjadi dimasyarakat desa Jiwa Baru pengumpulan dana dilakukan sebagai berikut : Sebulan sebelum hari jadi acara, namanya “kumpul sanak mandas”. Adapun cara pengumpulan dana tersebut adalah dengan mengumpulkan seluruh sanak famili terdekat. Pengumpulan orang untuk datang kerumah yang punya hajatan caranya dipanggil kerumah masing-masing. Panggilan dilaksanakan oleh utusan tuan rumah masyarakat menyebutnya “tukang panggil”. Memang kurang efisien kalau ditinjau dari sisi waktu, namun dengan adanya tatap muka seperti itu maka jalinan silaturahim terjadi disini. 

Kumpul sanak pedusunan
Seminggu sebelum hari jadi acara, namanya “kumpul sanak pedusunan”. Adapun cara pengumpulan dana adalah dengan cara mengumpulkan seluruh masyarakat pedesaan tanpa terkecuali. Pengumpulan orang untuk datang kerumah yang punya hajatan caranya dipanggil kerumah masing-masing. Penggilan dilaksanakan oleh utusan tuan rumah masyarakat menyebutnya “tukang panggil”. Memang kurang efisien kalau ditinjau dari sisi waktu. namun dengan adanya tatap muka seperti itu maka jalinan silaturahmi terjadi disini. Sehingga, terjadilah sosialisasi yang mengakibatkan terjadi keakraban yang merupakan landasan untuk penyatuan masyarakat. 

Kemudian setelah orang berkumpul maka acara penarikan dana dilakukan. Biasanya ada petugas yang keliling untuk melakukan pendataan orang yang akan menyumbang. Selama acara penarikan dana berlangsung setiap orang yang hadir dipersilakan menyantap hidangan yang telah disediakan tuan rumah. Kemudian syarat untuk melakukan acara ini adalah: pihak keluarga mempelai laki-laki atau dalam bahasa Lubai membinikan anak. Sekilas terkesan ada bias gender disini, namun jika dilihat lebih jauh maka pihak laki-laki akan banyak mengeluarkan biaya ketika melakukan perhelatan. Jika pihak mempelai perempuan berasal dari desa Jiwa Baru, pihak mempelai laki-laki dari luar masayarakat Jiwa Baru, maka  dapat juga melaksanakan acara ini jika memungkin dari segala aspek.

Kesimpulan : Kumpul sanak ini merupakan adat istiadat suku Lubai yang perlu dilestarikan, semoga tokoh masyarakat Lubai dapat menggiring adat kumpul sanak ini dengan baik sehingga dapat lestari sepanjang masa.

Kesenian suku Lubai

Kesenian merupakan hasil manusia sebagai “Homo Esteticus”. Setelah manusia dapat mencukupi kebutuhan fisiknya maka manusia perlu dan selalu mencari pemuas untuk memenuhi kebutuhan fisiknya. Manusia semata-mata tidak hanya memenuhi kebutuhan perutnya saja, tetapi mereka perlu juga pandangan mata yang indaha serta suara yang merdu. Semuanya itu dapat dipenuhi melalui kesenian ditempatkan sebagai unsur yang terakhir, karena enam kebutuhan sebelumnya, pada umumnya harus dipenuhi terlebih dahulu.

Kesenian Suku Lubai sejak zaman nenek moyang dulu telah diapresiasikan yaitu :

  1. Seni Musik : Gitar tunggal /betembang lagu daerah
  2. Jeliheman : yaitu cerita rakyat Lubai, be andai-andai
  3. Muneng-munengan (Teka teki) 
  4. Bebalas pantun.
  5. Seni Tari 

Gitar Tunggal

Dalam menembangkan sebuah lagu hanya diiringi oleh Gitar sebagai alat musiknya. Dari daerah asalnya Sumatera Selatan, sering dibilang orang dengan Tembang Batang Hari Sembilan atau Kesenian Gitar Tunggal. Beberapa daerah di Sumatera Selatan, seperti daerah Rambang (Rambang Dangku, Rambang Kapak Tengah dan Rambang Lubai) atau dari Kota Prabumulih, atau juga dari daerah Muara Enim, Lahat dan Pagar Alam memiliki juga kesenian ini. Tapi masing-masing daerah memiliki ciri khas masing-masing, perbedaan ini terletak dari teknik memetik Gitar yang dimainkan. Dalam menyetem Gitarnya juga berbeda dari biasanya, perbedaan ini terletak dipenyeteman suara tali Gitar No. 6 disamakan dengan suara tali Gitar no. 3. Sedangkan suara tali Gitar yang lainnya tidak mengalami perubahan.

Seni tari hasil kreasi putera puteri Lubai berdasarkan pengamatan penulis, sampai dengan sekarang belum ada. Sehingga seni tari yang sering ditampilkan, merupakan seni tari yang biasa ditampilkan di wilayah provinsi Sumatera Selatan pada umumnya.
Tari Tanggai
Tari tanggai dibawakan pada saat menyambut tamu-tamu resmi atau dalam acara pernikahan. Umumnya tari ini dibawakan oleh lima orang dengan memakai pakaian khas daerah seperti kaian songket, dodot, pending, kalung, sanggul malang, kembang urat atau rampai, tajuk cempako, kembang goyang dan tanggai yang berbentuk kuku terbuat dari lempengan tembaga Tari ini merupakan perpaduan antara gerak yang gemulai busana khas daerah para penari kelihatan anggun dengan busana khas daerah. Tarian menggambarkan masyarakat palembang yang ramah dan menghormati, menghargai serta menyayangi tamau yang berkunjung ke daerahnya