Mungkin
kata ikhlas sudah tidak asing lagi bagi kebanyakan orang dan sesuatu
yang biasa. Meskipun demikian, perlu diingat bahwa ikhlas akan amat
bermanfaat bagi mereka yang berkeinginan untuk melaksanakan ketaatan
kepada Allah, ingin merasakan manisnya melaksanakan ibadah kepada-Nya,
mengikatkan diri dengan senantiasa bersama Allah dan menjadikan setan
sebagai musuh yang harus dilawan.
Secara
definitif, Ikhlas adalah hendaknya kita menjadikan ucapan, kehidupan,
kematian, berdiam diri, beraktivitas, saat sendiri, saat di tempat
keramaian dan semua yang kita kerjakan di dunia ini dengan satu tujuan,
yaitu menggapai keridhaan Allah swt.
Berdasarkan
definisi ini, dapat dikatakan bahwa ikhlas merupakan salah satu bagian
dari aktivitas hati, bahkan ia menempati posisi yang paling depan dari
semua aktivitas hati. Karena keikhlasan menjadi tolak ukur diterimanya
suatu amal. Jika kita melakukan sesuatu dan tidak disertai dengan
keikhlasan, maka ia tidak akan memiliki nilai apapun di sisi Allah. Dan
nilai dari sebuah keikhlasan merupakan rahasia yang hanya Allah semata
yang tahu.
Dengan
kata lain, ikhlas adalah hendaknya segala motivator yang mendasari
semua yang kita lakukan adalah keridhaan Allah swt. Lantas aktivitas apa
saja yang mungkin dilakukan? Puasa, shalat, zakat, haji dan ibadah
lainnya yang Anda lakukan demi untuk menggapai ridha Allah swt. Bahkan
sampai aktivitas yang sudah menjadi bagian dari rutinitas yang Anda
lakukan juga harus disertai dengan keikhlasan. Seperti makan, minum,
tidur, menikah, berolahraga, dan bekerja di kantor.
Mungkin
ada yang bertanya, keikhlasan memang harus menyertai semua ibadah yang
kita lakukan, tapi bagaimana dengan rutinitas harian, apa ia juga
dibutuhkan dan apa dasarnya? Mari kita baca firman Allah.
“Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku
hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagiNya; dan
demikian Itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang
pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)". (Al-An`Am [6] : 162-162 )
Ikhlas
harus menyertai semua aktifitas yang kita lakukan, tidak hanya terbatas
pada ibadah semata, bahkan pada saat kita bekerja, mengurus anak di
rumah, menentukan orang yang akan menjadi pasangan hidup, memilih baju
untuk dikenakan, memilih makanan dan tidur. Semuanya harus disertai
dengan keikhlasan. Inilah arti secara umum dari firman Allah swt, “Sesungguhnya
sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan
semesta alam. Tiada sekutu bagiNya; dan demikian Itulah yang
diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama
menyerahkan diri (kepada Allah)".
Dalam kisah Nabi Yusuf, sebagaimana yang tercantum dalam Al-Qur’an, Allah berfirman,
وَلَقَدْ
هَمَّتْ بِهِ وَهَمَّ بِهَا لَوْلا أَنْ رَأَى بُرْهَانَ رَبِّهِ كَذَلِكَ
لِنَصْرِفَ عَنْهُ السُّوءَ وَالْفَحْشَاءَ إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا
الْمُخْلَصِينَ
“Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu)
dengan Yusuf, dan Yusufpun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu
andaikata dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya. Demikianlah, agar
Kami memalingkan dari padanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya
Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami iklas.” (Yûsuf [12] : 24)
Kalaulah tidak adanya keikhlasan, tentunya Yusuf tidak akan selamat dari perbuatan keji.
Banyak
orang yang mengatakan, saya selalu dihadapkan dengan berbagai fitnah
yang mengintaiku siang dan malam; saya selalu dihadapkan dengan sosok
orang yang terus mengajakku untuk melakukan kekejian setiap hari; saya
bekerja di tempat yang amat keji, dan seterusnya. Bagi mereka yang
mengatakan hal semacam ini, belajarlah dari peristiwa yang pernah
dialami Nabi Yusuf as., tanamkan keikhlasan dalam hati, jadikan semua
hidup ini hanya untuk menggapai ridha Allah swt. Jika kita melakukan hal
ini, insya Allah kita akan selamat dari berbagai fitnah sebagaimana
yang pernah dialami Nabi Yusuf as.
Begitu
pula dengan Nabi Musa as. Beliau tidak akan pernah mendapati derajat
yang amat tinggi kecuali dengan keikhlasannya. Allah berfirman,
وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ مُوسَى إِنَّهُ كَانَ مُخْلَصًا وَكَانَ رَسُولا نَبِيًّا
“Dan
ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka), kisah Musa di dalam Al-kitab
(Al- Qur’an) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang yang dipilih dan
seorang rasul dan nabi.” (Maryam [19] : 51)
Bahkan
yang paling mengagumkan adalah apa yang pernah dikatakan oleh Iblis,
bahwasanya ia telah berjanji untuk menyesatkan semua manusia kecuali
orang-orang yang ikhlas; Iblis tidak mampu menggoda dan menyesatkan
mereka. Sebagai gambaran atas hal ini, kita dapat membaca firman Allah
swt.,
“Iblis berkata: ‘Ya Tuhanku, beri tangguhlah aku sampai hari mereka
dibangkitkan.’ Allah berfirman: ‘Sesungguhnya kamu termasuk orang-orang
yang diberi tangguh, sampai kepada hari yang telah ditentukan waktunya
(hari kiamat)’. Iblis menjawab: ‘Demi kekuasaan Engkau aku akan
menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis di
antara mereka.” (Shâd [38] : 79-83)
Iblis
sendiri telah berkata, saya akan menyesatkan semua manusia, kecuali
satu golongan. Siapa dia? Yaitu hamba-hamba-Mu yang ikhlas. Sejauh mana
keikhlasan yang tertanam dalam hati kita, sejauh itu pula iblis akan
mengganggu kita. Sejauh mana kedekatan dan keikhlasan kita kepada Allah,
sebesar itu pula kekuatan Iblis untuk menggoda kita, dan Iblis
mengetahui bahwa ia tidak memiliki kemampuan untuk menggoda kita selama
keikhlasan sudah tertanam dalam hati. “Iblis berkata: "Ya Tuhanku,
oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan
menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan
pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya,kecuali hamba-hamba Engkau
yang mukhlis di antara mereka." (Al-Hijr [15] : 39-40)
Surat
yang paling besar nilainya, bahkan sampai setara dengan seperempat
Al-Qur`an adalah surat Al-Ikhlas. Kenapa dinamakan surat Al-Ikhlas?
Karena jika kita benar-benar melaksanakan makna yang terkandung di
dalamnya, tentu kita akan menjadi sosok yang mukhlis.
“Allah yang esa.” Tidak ada tujuan dalam pelaksanaan ibadah dan dalam kehidupan ini kecuali kepada zat yang esa.
“Allah tempat bersandar.”
Kepada siapa Anda akan bersandar kalau bukan kepada Allah. Dialah
tempat bersandar atas segala bencana dan musibah yang begitu berat.
“Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia." Jika kita tanamkan surat Al-Ikhlas dalam qalbu kita, kita akan menjadi sosok yang mukhlis.
Pada saat kita melihat orang-orang beriman yang memberi makan kepada orang lain, Allah berfirman,
“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan.” (Al-Insân [76] : 8)
Lihatlah
kata ikhlas yang ditempatkan setelah kalimat di atas dan ungkapannya
yang begitu indah, seakan-akan Anda melihat mereka berkata disertai
dengan wajah yang ceria,
إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لا نُرِيدُ مِنْكُمْ جَزَاءً وَلا شُكُورًا (9)إِنَّا نَخَافُ مِنْ رَبِّنَا يَوْمًا عَبُوسًا قَمْطَرِيرًا (10)
“Sesungguhnya
kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan
Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan)
terima kasih. Sesungguhnya kami takut akan (azab) Tuhan kami pada suatu
hari yang (di hari itu) orang-orang bermuka masam penuh kesulitan.” (Al-Insân [76] : 9-10)
Para
ulama berpendapat bahwa orang yang mendapatkan satu kebajikan, sepuluh
kebajikan, tujuh ratus kebajikan bahkan lebih banyak darinya, semuanya
tergantung dengan keikhlasannya.
Karenanya, sertakan keikhlasan dalam setiap amal dan aktifitas yang kita lakukan.
Sumber : http://www.jasadesainwebsite.net
No comments:
Post a Comment