Qolbun salim berasal dari dua kata
bahasa Arab, yaitu qolbun (hati) dan salim (bersih, suci dan lurus).
Jika kedua kata ini digabungkan, maka akan membentuk arti ‘hati yang
lurus, bersih, suci dan ikhlas dalam segala gerak, fikiran, perasaan,
perbuatan dan lain sebagainya hanya kepada Allah SWT. Dalam Al-Qur’an,
Allah menyebut istilah qolbun salim sebanyak dua kali. Dan keduanya
menggambarkan tentang hatinya nabi Ibrahim as. :
1. Dalam QS. 26 : 87 – 89
وَلاَ تُخْزِنِي يَوْمَ يُبْعَثُونَ * يَوْمَ لاَ يَنْفَعُ مَالٌ وَلاَ بَنُونَ* إِلاَّ مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ*
“Dan
janganlah Engkau hinakan aku pada hari mereka dibangkitkan, (yaitu) di
hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang
yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.”
2. Dalam QS. 37 : 83 – 85
وَإِنَّ مِنْ شِيعَتِهِ لإِبْرَاهِيمَ* إِذْ جَاءَ رَبَّهُ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ* إِذْ قَالَ لأَبِيهِ وَقَوْمِهِ مَاذَا تَعْبُدُونَ*
“Dan
sesungguhnya Ibrahim benar-benar termasuk golongannya (Nuh). (Ingatlah)
ketika ia datang kepada Tuhannya dengan hati yang suci. (Ingatlah)
ketika ia berkata kepada bapaknya dan kaumnya: "Apakah yang kamu sembah
itu?”
Jika kita
renungkan, sebenarnya Allah SWT menginginkan agar seluruh
hamba-hamba-Nya dapat memiliki hati yang bersih, yang dapat mengantarkan
mereka pada surga Allah SWT, sekligus untuk menyempurnakan segala
kenikmatan yang diberikan kepada seluruh hamba-hamba-Nya. Dan untuk
menyucikan hati manusia, Allah menurunkan Al-Qur’an (agama Islam), guna
dijadikan pedoman hidup manusia: (QS. 5 : 6)
مَا
يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيدُ
لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ
تَشْكُرُونَ*
“Allah
tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan
menyempurnakan ni`mat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.”
Namun
untuk memiliki hati yang bersih, kita terlebih dahulu harus mengetahui
seluk beluk hati manusia, sifat-sifatnya dan juga godaan-godaan yang
dapat menghanyutkannya. Hati ini merupakan sentral jiwa manusia, yang
apabila hatinya baik, maka insya Allah akan baik pula seluruh tubuhnya,
dan jika hatinya buruk, maka akan buruk pula seluruh tubuhnya. Dalam
sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, dari
Abdullah bin Nu’man ra, Rasulullah SAW bersabda:
أَلاَ
وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ
وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلاَ وَهِيَ الْقَلْبُ
“…ketahuilah bahwa dalam jasad itu terdapat sekerat darah, yang apabila
ia baik maka baik pula seluruh jasadnya. Dan apabila ia rusak, maka
rusak pula seluruh jasadnya. Ketahuilah bahwa sekerat darah tersebut
adalah hati. (HR. Bukhari Muslim)
Dari
hadits di atas kita dapat memetik satu kesimpulan, yaitu bahwa hati
ternyata laksana nahkoda sebuah bahtera. Dimana arah tujuan dari bahtera
tersebut sangat ditentukan oleh sang nahkoda. Jika nahkodanya memiliki
niatan dan tujuan yang baik, insya Allah akan membawa bahtera tersebut
ke arah yang baik. Sebaliknya, jika ia memiliki tujuan yang jahat, maka
secara otomatis kapal tersebut sedang berjalan ke arah yang negatif.
Oleh karena itulah sangat penting bagi kita memiliki hati yang bersih
guna menjadikan kehidupan kita benar-benar sedang melaju ke arah yang
baik, yaitu keridhaan Allah SWT.
Imam
al-Ghazali mengungkapkan, “bahwa hati merupakan sesuatu yang paling
berharga dalam diri manusia. Karena dengan hatilah, seseorang mampu
mengenal Allah, beramal untuk mengharapkan ridha-Nya dan juga guna
mendekatkan diri kepada-Nya. Sedangkan jasad pada hakekatnya hanyalah
menjadi pelayan dan pengikut hati, sebagaimana seorang pelayan terhadap
tuannya.”
Oleh kerena
itulah terdapat sebuah ungkapan, bahwa siapa yang mengenal hatinya maka
ia akan mengenal Rabbnya. Namun disayangkan, karena betapa banyaknya
manusia yang tidak mengenal hatinya sendiri. Lalu Allah menjadikannya
seolah dirinya terpisah dari hatinya. Pemisahan ini dapat berbentuk
penghalang untuk mengenal dan bermuroqobatullah (selalu dalam pengawasan
Allah). Dan atas dasar hal inilah, banyak ulama yang menjadikan
ma’rifatul qolb sebagai dasar dan pedoman bagi orang-orang saleh yang
ingin lebih mendekatkan dirinya kepada Allah.
Namun
ternyata banyak rintangan untuk mendekatkan hati kepada Sang Pencipta.
Karena godaan syaitan sangat luar biasa terhadap diri manusia. Imam
Al-Ghazali menggambarkannya dengan sebuah benteng yang dikepung oleh
musuh yang berambisi memasuki dan menguasainya. Benteng tersebut sudah
barang tentu harus dijaga pintu-pintunya, guna menghindari desakan musuh
yang bergerak menyerbunya. Namun orang yang tidak mengetahui
pintu-pintunya sudah barang tentu tidak dapat menjaganya. Maka demikian
juga halnya dengan hati. Seseorang tidak mungkin dapat menjaganya bahkan
juga mengusir syaitan yang menyerangnya melainkan dengan mengetahui
pintu-pintu yang terdapat dalam hatinya tersebut. Pintu-pintu yang dapat
dimasuki syaitan diantaranya adalah:
- Iri hati
- Dengki
- Ambisi
- Emosi
- Hawa nafsu (kemaksiatan)
- Kemegahan (bermewah-mewah)
- Cinta (lawan jenis)
- Kesombongan
- Ketergesaan, dsb.
Dalam
perumpamaan lain, syaitan itu digambarkan seperti seekor anjing lapar
yang mendekati seorang insan. Jika ia tidak memegang suatu makanan
seperti daging atau roti, maka akan dengan mudah mengusir anjing ini.
Namun jika dalam genggaman tangannya terdapat daging, roti dan makanan
lainnya, maka akan lebih sulit mengusir anjing tersebut. Perlu adanya
kekuatan ekstra guna mengusirnya, dengan kekuatan tangan, kaki atau kayu
dan tongkat, barulah ia dapat mengusir anjing itu. Demikian pula dengan
hati yang dikuasai hawa nafsu serta jauh dari dzikrullah. Sudah barang
tentu ia menjadi mangsa para syaitan yang kelaparan. Dan untuk
mengusirnya juga diperlukan tenaga ekstra, berbeda dengan hati yang
hampa dari nafsu…
Inilah
sensitifas hati seorang insan, yang ternyata sangat rentan akan godaan.
Oleh karenanya tidak heran, jika Rasulullah SAW sering mengungkapkan doa
yang cukup masyhur;
يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوْبِ ثَبِّتْ قُلُوْبَنَا عَلَى دِيْنِكَ، وَيَا مُصَرِّفَ الْقُلُوْبِ صَرِّفْ قُلُوْبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ
“Wahai
Pembolak balik hati, tetapkanlah hati kami dalam agama-Mu. Wahai
Pemutar balik hati, tetapkanlah hati kami untuk taat kepada-Mu.”
Beliau
yang telah di jamin dapat menapakkan kakinya dalam surga, masih dengan
khusyu’nya memanjatkan irama doa yang indah. Maka sebagai umat dan
pengikutnya, memanjatkan doa guna kelurusan hati merupakan hal yang
seyogyanya mendapatkan prioritas. Marilah sejenak kita meninggalkan
berbagai keegoisan hati dalam diri kita, baik politik, golongan,
jabatan, kekayaan dan sebagainya. Guna memasrahkan jiwa dan raga yang
ternyata sangat kecil dan tiada memiliki daya apapun juga di hadapan
Yang Maha Perkasa. Paling tidak dalam bulan suci ramadhan ini, agar
rajut-rajut ukhuwah yang sempat terkoyak dapat tersulami kembali.
Kemudian apapun yang muncul dari hati kita dapat kita ukur dengan
pembagian para ulama terhadap hati manusia:
- Pertama, hati yang dihiasi dengan nilai ketaqwaan, dzikir, pembersihan jiwa dan muraqabatullah (sikap hati yang selalu merasa berada dalam pengawasan Allah). Hati seperti ini, insya Allah dapat menangkal segala sifat tidak terpuji. Hati seperti ini sering juga disebut dengan hati yang bersih (Qolbun Salim).
- Kedua, hati yang berlumurah hawa nafsu, terselimuti sifat-sifat tercela. Hati seperti inilah yang kerap kali menjadi mangsa syaitan untuk mengobrak abrik sedikit saja sinar terang yang terdapat di dalamnya. Hati akan lambat laun akan menjadi kelam, seperti malam yang tidak berbulan.
- Ketiga, hati yang memiliki potensi mengikuti hawa nafsu, namun juga masih terdapat jeritan keimanan untuk berbuat kebaikan. Ia berada diantara kebaikan dan keburukan, walaupun pada akhirnya ia harus menentukan pilihan; hitam atau putih.
Sebagai
hamba Allah, hendaknya kita memohon dan memasrahkan hati kita kepada
Allah, agar hati ini terhindar dari goresan-goresan kemunafikan menuju
keikhlasan-Nya yang abadi. Wahai manusia, wahai diri kita, wahai para
pemimpin-pemimpin bangsa, marilah kita kembali mengenali hati kita
beserta sensitifitasnya, agar kita dapat memiliki hati yang suci (Qolbun
salim), sebagai mana nabi Muhammad dan Nabi Ibrahim serta para
nabi-nabi lainnya. … Amin.
Wallahu A’lam bis Shawab.
By. Rikza Maulan, Lc., M.Ag.
No comments:
Post a Comment