RUMAH ULU terdiri dari beberapa ruangan. Pada ruangan terbuka bagian bawah rumah, di sela-sela tiangnya, mempunyai beberapa fungsi. Di ruangan ini sering dijumpai peralatan seperti isaran padi, pipisan kapas, apitan (alat pembuat minyak kepayang), kilangan (alat pembuat manisan tebu) dan nggahe (kandang ayam) dan lain sebagainya. Atau adakalanya menjadi tempat gudang (tempat menyimpan) sedangkan pemakaian peralatan di tempat lain.
Pada waktu siang atau sore hari, bila tidak ada pekerjaan di kebun, para wanita mengetam padi di ruang bawah. Ini dilakukan terutama setelah musim panen padi. Dilakukan oleh para ibu rumah tangga dan anak gadis. Mereka seringkali bekerja sambil ngobrol dan bercanda sehingga terdengar suara lesung dan canda tawa mereka.
Sedangkan pipisan kapas merupakan peralatan untuk membersihkan kapas dan bijinya. Dikerjakan oleh laki-laki dan perempuan. Ini menandakan daerah tersebut adalah penghasil kapas. Juga kilangan. Keberadaan alat ini menandakan bahwa daerah dimana mereka berdiam itu menghasilkan tebu yang hasilnya diolah di ruang bawah. Di ruang bawah juga digunakan untuk melakukan aktivitas-aktivitas lain baik aktivitas yang menghasilkan maupun sekedar anak-anak bermain, tempat duduk santai bagi para bujang dan lain sebagainya. Oleh karena itu, di depan rumah sejajar dengan tiang-tiang atau dekat dengan tangga umumnya dipasang pance yaitu tempat untuk duduk.
Pada saat orang tua atau anak-anak yang sudah gadis melakukan pekerjaan di ruang bawah, anak-anak biasanya juga ikut berada di situ. Mereka bermain antara lain gasing untuk anak laki-laki, masak-masakan untuk anak perempuan. Adakalanya mereka bermain ayun-ayunan sambil bernyanyi dan berpantun. Di ruang bawah juga sering digunakan untuk melatih anak-anak yang belum bisa berjalan agar cepat bisa berjalan. Alat yang digunakan terbuat dari kayu atau bambu yang kuat, dibuat agar bisa berputar yang dinamakan ‘isaran anak’. Anak yang akan dilatih didirikan dekat alat tersebut. Tangannya disuruh memegang kayu atau bambu yang sudah disediakan dan diajari melangkah secara berputar. Alat tersebut hanya dapat digunakan untuk arah putaran yang sama. Kalau putarannya ke kiri berarti hanya bisa dijalankan ke arah kiri saja. Begitu sebaliknya.
Kala senja, para bujang seringkali duduk-duduk di pance. Apalagi kalau di rumah ada bujangnya. Teman-temannya baik teman sedesa maupun teman dari desa tetangga, seringkali berkunjung dan duduk-duduk santai di pance sambil ngobrol. Pada saat seperti ini, apabila di rumah tersebut ada gadisnya, seringli mereka berpantun, meskipun pada waktu itu si gadis tidak turun atau tidak ikut duduk di pance. Pance juga digunakan untuk menenun bagi para gadis. Ini dilakukan kala senggang atau tidak membantu orang tua. Pada sore hari si gadis menenun di pance sambil santai dan mengobrol bersama teman-temannya.
Tak jauh dari pance, dekat tangga disediakan guci yang diisi air. Air tersebut digunakan untuk mencuci kaki baik oleh anggota keluarga maupun tamu yang sedang berkunjung. Setelah naik tangga, ruang pertama yang dijumpai adalah lintut atau garang. Fungsinya untuk menerima tamu yang masih bujang, baik di rumah tersebut ada anak bujangnya atau tidak. Tamu yang masih bujang tadi bisa duduk santai sambil ngobrol di garang.
Apabila ada tamu laki-laki yang sekedar tetangga, umumnya juga duduk di garang. Tapi kalau malam hari diajak masuk rumah. Terutama saat sore hari, bila sudah pulang dari kebun dan tidak ada pekerjaan yang harus dilakukan di rumah, biasanya kaum bapak main ke tempat tetangga. Mereka saling ngobrol menceritakan keadaan kebunnya sambil merokok dan lain-lain. Mereka saling tukar pengalaman terutama mengenai penanaman dan pemeliharaan tanaman di kebunnya.Tak jarang di garang tersebut juga dilakukan musyawarah kecil-kecilan agar saling membantu dalam pengelolaan kebunnya. Mereka berkumpul tanpa diundang dan secara spontan mereka membicarakaan rencana-rencana kerja di kebun atau sawah.
Tamu yang masih asing atau belum pernah dikenal oleh keluarga tersebut dan belum tahu tujuan bertamu atau tujuan datang biasanya pertama-tama juga dipersilakan duduk di garang.Hal ini sebagai antisipasi kemungkinan si tamu mempunyai maksud dan kehendak yang kurang baik. Garang juga kadang-kadang digunakan untuk tidur bujang pada malam hari. Ini biasanya terjadi karena banyaknya saudara yang menginap seperti pada acara perkawinan dan sunatan. Sehingga ruangan-ruangan di dalam digunakan untuk tidur orang yang sudah berumah tangga, para gadis dan anak-anak.
Pada saat yang lain garang juga digunakan oleh anak-anak sebagai tempat duduk untuk menyaksikan acara yang digelar di dalam rumah. Seperti berzikir, terbangan, salawatan dan sebagainya. Garang juga digunakan untuk tidur bujang yang sedang ngule atau ngana dalam. Ngule merupakan kewajiban bagi bujang untuk membantu melakukan segala pekerjaan di rumah orang tua gadis yang akan dipinangnya. Ngule berlangsung antara 3 bulan hingga satu tahun. Tergantung penilaian orang tua gadis. Apabila orang tua gadis menyatakan selesai maka sang bujang dinyatakan lulus dan boleh pulang. Biasanya pulangnya diantar oleh pihak keluarga gadis. Namun manakala pihak orang tua gadis menggagalkan atau menilai bahwa bujang tersebut tidak lulus, maka pihak orang tua gadis harus mengembalikan kerugian atau membayar tenaga bujang selama menjalankan ngule.
Bagaimana dengan ruang pemidangan? Gunanya untuk menerima tamu. Tidak ada meja dan kursi. Tamu duduk di lantai yang beralaskan tikar. Dulu, sebelum ada tikar anyaman, menggunakan kulit kayu lengkanang. Kulit kayu dipanggang supaya kering, dijemur sambil dipukul-pukul dan dianyam, itulah tikar lengkanang.
Pance adalah tempat untuk bersantai baik dengan sesama anggota keluarga maupun dengan orang yang berkunjung.
Sumber : Internet berbagai website...
Sumber : Internet berbagai website...
No comments:
Post a Comment