Tuesday, February 12, 2013

Qolbun Salim

Qolbun salim berasal dari dua kata bahasa Arab, yaitu qolbun (hati) dan salim (bersih, suci dan lurus). Jika kedua kata ini digabungkan, maka akan membentuk arti ‘hati yang lurus, bersih, suci dan ikhlas dalam segala gerak, fikiran, perasaan, perbuatan dan lain sebagainya hanya kepada Allah SWT. Dalam Al-Qur’an, Allah menyebut istilah qolbun salim sebanyak dua kali. Dan keduanya menggambarkan tentang hatinya nabi Ibrahim as. :

1. Dalam QS. 26 : 87 – 89
وَلاَ تُخْزِنِي يَوْمَ يُبْعَثُونَ * يَوْمَ لاَ يَنْفَعُ مَالٌ وَلاَ بَنُونَ* إِلاَّ مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ*
“Dan janganlah Engkau hinakan aku pada hari mereka dibangkitkan, (yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.”
2. Dalam QS. 37 : 83 – 85
وَإِنَّ مِنْ شِيعَتِهِ لإِبْرَاهِيمَ* إِذْ جَاءَ رَبَّهُ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ* إِذْ قَالَ لأَبِيهِ وَقَوْمِهِ مَاذَا تَعْبُدُونَ*
“Dan sesungguhnya Ibrahim benar-benar termasuk golongannya (Nuh). (Ingatlah) ketika ia datang kepada Tuhannya dengan hati yang suci. (Ingatlah) ketika ia berkata kepada bapaknya dan kaumnya: "Apakah yang kamu sembah itu?”

Jika kita renungkan, sebenarnya Allah SWT menginginkan agar seluruh hamba-hamba-Nya dapat memiliki hati yang bersih, yang dapat mengantarkan mereka pada surga Allah SWT, sekligus untuk menyempurnakan segala kenikmatan yang diberikan kepada seluruh hamba-hamba-Nya. Dan untuk menyucikan hati manusia, Allah menurunkan Al-Qur’an (agama Islam), guna dijadikan pedoman hidup manusia: (QS. 5 : 6)
مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ*
“Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan ni`mat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.”

Namun untuk memiliki hati yang bersih, kita terlebih dahulu harus mengetahui seluk beluk hati manusia, sifat-sifatnya dan juga godaan-godaan yang dapat menghanyutkannya. Hati ini merupakan sentral jiwa manusia, yang apabila hatinya baik, maka insya Allah akan baik pula seluruh tubuhnya, dan jika hatinya buruk, maka akan buruk pula seluruh tubuhnya. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, dari Abdullah bin Nu’man ra, Rasulullah SAW bersabda:
أَلاَ وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلاَ وَهِيَ الْقَلْبُ
“…ketahuilah bahwa dalam jasad itu terdapat sekerat darah, yang apabila ia baik maka baik pula seluruh jasadnya. Dan apabila ia rusak, maka rusak pula seluruh jasadnya. Ketahuilah bahwa sekerat darah tersebut adalah hati. (HR. Bukhari Muslim)

Dari hadits di atas kita dapat memetik satu kesimpulan, yaitu bahwa hati ternyata laksana nahkoda sebuah bahtera. Dimana arah tujuan dari bahtera tersebut sangat ditentukan oleh sang nahkoda. Jika nahkodanya memiliki niatan dan tujuan yang baik, insya Allah akan membawa bahtera tersebut ke arah yang baik. Sebaliknya, jika ia memiliki tujuan yang jahat, maka secara otomatis kapal tersebut sedang berjalan ke arah yang negatif. Oleh karena itulah sangat penting bagi kita memiliki hati yang bersih guna menjadikan kehidupan kita benar-benar sedang melaju ke arah yang baik, yaitu keridhaan Allah SWT.

Imam al-Ghazali mengungkapkan, “bahwa hati merupakan sesuatu yang paling berharga dalam diri manusia. Karena dengan hatilah, seseorang mampu mengenal Allah, beramal untuk mengharapkan ridha-Nya dan juga guna mendekatkan diri kepada-Nya. Sedangkan jasad pada hakekatnya hanyalah menjadi pelayan dan pengikut hati, sebagaimana seorang pelayan terhadap tuannya.”

Oleh kerena itulah terdapat sebuah ungkapan, bahwa siapa yang mengenal hatinya maka ia akan mengenal Rabbnya. Namun disayangkan, karena betapa banyaknya manusia yang tidak mengenal hatinya sendiri. Lalu Allah menjadikannya seolah dirinya terpisah dari hatinya. Pemisahan ini dapat berbentuk penghalang untuk mengenal dan bermuroqobatullah (selalu dalam pengawasan Allah). Dan atas dasar hal inilah, banyak ulama yang menjadikan ma’rifatul qolb sebagai dasar dan pedoman bagi orang-orang saleh yang ingin lebih mendekatkan dirinya kepada Allah.

Namun ternyata banyak rintangan untuk mendekatkan hati kepada Sang Pencipta. Karena godaan syaitan sangat luar biasa terhadap diri manusia. Imam Al-Ghazali menggambarkannya dengan sebuah benteng yang dikepung oleh musuh yang berambisi memasuki dan menguasainya. Benteng tersebut sudah barang tentu harus dijaga pintu-pintunya, guna menghindari desakan musuh yang bergerak menyerbunya. Namun orang yang tidak mengetahui pintu-pintunya sudah barang tentu tidak dapat menjaganya. Maka demikian juga halnya dengan hati. Seseorang tidak mungkin dapat menjaganya bahkan juga mengusir syaitan yang menyerangnya melainkan dengan mengetahui pintu-pintu yang terdapat dalam hatinya tersebut. Pintu-pintu yang dapat dimasuki syaitan diantaranya adalah:
  • Iri hati
  • Dengki
  • Ambisi
  • Emosi
  • Hawa nafsu (kemaksiatan)
  • Kemegahan (bermewah-mewah)
  • Cinta (lawan jenis)
  • Kesombongan
  • Ketergesaan, dsb.

Dalam perumpamaan lain, syaitan itu digambarkan seperti seekor anjing lapar yang mendekati seorang insan. Jika ia tidak memegang suatu makanan seperti daging atau roti, maka akan dengan mudah mengusir anjing ini. Namun jika dalam genggaman tangannya terdapat daging, roti dan makanan lainnya, maka akan lebih sulit mengusir anjing tersebut. Perlu adanya kekuatan ekstra guna mengusirnya, dengan kekuatan tangan, kaki atau kayu dan tongkat, barulah ia dapat mengusir anjing itu. Demikian pula dengan hati yang dikuasai hawa nafsu serta jauh dari dzikrullah. Sudah barang tentu ia menjadi mangsa para syaitan yang kelaparan. Dan untuk mengusirnya juga diperlukan tenaga ekstra, berbeda dengan hati yang hampa dari nafsu…
Inilah sensitifas hati seorang insan, yang ternyata sangat rentan akan godaan. Oleh karenanya tidak heran, jika Rasulullah SAW sering mengungkapkan doa yang cukup masyhur;
يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوْبِ ثَبِّتْ قُلُوْبَنَا عَلَى دِيْنِكَ، وَيَا مُصَرِّفَ الْقُلُوْبِ صَرِّفْ قُلُوْبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ
“Wahai Pembolak balik hati, tetapkanlah hati kami dalam agama-Mu. Wahai Pemutar balik hati, tetapkanlah hati kami untuk taat kepada-Mu.”

Beliau yang telah di jamin dapat menapakkan kakinya dalam surga, masih dengan khusyu’nya memanjatkan irama doa yang indah. Maka sebagai umat dan pengikutnya, memanjatkan doa guna kelurusan hati merupakan hal yang seyogyanya mendapatkan prioritas. Marilah sejenak kita meninggalkan berbagai keegoisan hati dalam diri kita, baik politik, golongan, jabatan, kekayaan dan sebagainya. Guna memasrahkan jiwa dan raga yang ternyata sangat kecil dan tiada memiliki daya apapun juga di hadapan Yang Maha Perkasa. Paling tidak dalam bulan suci ramadhan ini, agar rajut-rajut ukhuwah yang sempat terkoyak dapat tersulami kembali. Kemudian apapun yang muncul dari hati kita dapat kita ukur dengan pembagian para ulama terhadap hati manusia:
  1. Pertama, hati yang dihiasi dengan nilai ketaqwaan, dzikir, pembersihan jiwa dan muraqabatullah (sikap hati yang selalu merasa berada dalam pengawasan Allah). Hati seperti ini, insya Allah dapat menangkal segala sifat tidak terpuji. Hati seperti ini sering juga disebut dengan hati yang bersih (Qolbun Salim).
  2. Kedua, hati yang berlumurah hawa nafsu, terselimuti sifat-sifat tercela. Hati seperti inilah yang kerap kali menjadi mangsa syaitan untuk mengobrak abrik sedikit saja sinar terang yang terdapat di dalamnya. Hati akan lambat laun akan menjadi kelam, seperti malam yang tidak berbulan.
  3. Ketiga, hati yang memiliki potensi mengikuti hawa nafsu, namun juga masih terdapat jeritan keimanan untuk berbuat kebaikan. Ia berada diantara kebaikan dan keburukan, walaupun pada akhirnya ia harus menentukan pilihan; hitam atau putih.
Sebagai hamba Allah, hendaknya kita memohon dan memasrahkan hati kita kepada Allah, agar hati ini terhindar dari goresan-goresan kemunafikan menuju keikhlasan-Nya yang abadi. Wahai manusia, wahai diri kita, wahai para pemimpin-pemimpin bangsa, marilah kita kembali mengenali hati kita beserta sensitifitasnya, agar kita dapat memiliki hati yang suci (Qolbun salim), sebagai mana nabi Muhammad dan Nabi Ibrahim serta para nabi-nabi lainnya. … Amin.


Wallahu A’lam bis Shawab.
By. Rikza Maulan, Lc., M.Ag.

No comments:

Post a Comment