Wednesday, November 9, 2011

Suku Lubai

Suku Lubai merupakan etnis yang termasuk ke dalam rumpun suku Melayu Palembang. Suku Lubai bermukim di sepanjang Daerah Aliran Sungai Lubai Kecamatan Lubai, Kabupaten Muara Enim, Provinsi Sumatera Selatan.

Bahasa

Bahasa Lubai yang dituturkan oleh sebagian masyarakat yang tinggal di pesisir atau tepian Sungai Lubai. Sungai Lubai merupakan sungai kecil yang mempunyai mata air di dekat Sungai Enim dan bermuara di Sungai Rambang di Kabupaten Ogan Ilir. Bahasa Lubai adalah anak bahasa rumpun Melayu Palembang.

Pakaian Tradisional

Baju tradisional Lubai merupakan suatu pakaian yang biasa digunakan untuk menutup badan bagian atas oleh masyarakat Lubai dalam kehidupan sehari-hari. Secara umum baju yang dipergunakan oleh masyarakat Lubai sama dengan yang dipergunakan oleh masyarakat lainnya di Sumatera Selatan. Baju Kurung. Baju kurung adalah baju panjang untuk perempuan, ukuran panjangnya sampai kelutut ada dibagian dadanya dibelah dan juga tidak. Pengertian kurung secara tidak langsung telah membawa arti mengurung atau menutup anggota tubuh. Cara berpakaian seperti ini sesuai dengan konsep berpakaian cara Melayu setelah kedatangan Islam, sehingga istilah ‘kurung’ diartikan sebagai baju yang longgar dan panjang. Baju Teluk Belanga. Baju Teluk Belanga atau dalam bahasa Lubai disebut baju Teluk Belange biasanya dipakai oleh orang orang yang menjadi pejabat pemerintahan ataupun yang berpunya penghasilan banyak di Lubai. Potongan atau model baju Teluk Belanga pada bagian lehernya hanya di jahit dengan sulaman.

Alat Produksi

Suku Lubai sejak beberapa generasi terdahulu, telah menggunakan alat produksu sebagai berikut :
  1. Beliung adalah alat untuk menebang kayu di didaerah Lubai, rupanya seperti kapak dengan mata melintang. Ada pribahasa bersua beliung dengan sangkal, sepaham dan setujuan).
  2. Cangkul adalah alat untuk menggali dan mengaduk tanah, dibuat dari lempengan besi dan diberi tangkai panjang dari kayu untuk pegangan. Masyarakat Lubai dahulu, kurang mengenal alat ini. Pada saat ini masyarakat Lubai telah menggunakan Cangkul untuk keperluan pertanian bekebun karet. Cangkul dalam babasa Lubai disebut Sehekup.
  3. Parang adalah pisau besar, akan tetapi lebih pendek daripada pedang. Aada bermacam-macam jenisnya yaitu : Golok, lading. Ukuran dan bobot bervariasi, seperti halnya bentukpisau. Golok sering digunakan untuk memotong semak dan cabang. Golok secara tradisional dibuat dengan kenyal baja, biasanya bekas per kendaraan roda empat. Kelewang adalah n pedang pendek yang bilahnya makin ke ujung makin lebar.
  4. Tengkuet adalah untuk merumput. Alat ini berupa pisau bergagang, bentuknya agak melengkung.
  5. Tuai adalah untuk memotong padi ketika panen. Alat ini berupa pisau kecil deberi pegangan tangan dari kayu.
  6. Pahat Nakok adalah untuk mengambil getah karet. Alat ini berupa lempengan besi, bentuknya siku dan tajam.

Senjata tradisional

Senjata : yang digunakan untuk membela diri masyarakat Lubai sebagai berikut : Keris dalam bahasa Lubai ”kehis”, biasanya dimiliki secara turun te-murun. Tumbak Lade adalah sejenis Badik (Lampung), senjata ini mirip pisau dan biasanya penuh dengan karatan dan banyak racun. Tombak dalam bahasa Lubai ”kujur”.

Tempat berlindung

Tempat berlindung suku Lubai :
  1. Rumah adat Lubai : Rumah berbentuk Limas yang merupakan ciri khas wilayah dari Kesultanan Palembang Darussalam, Daerah Lubai merupakan bagian dari Kesultanan Palembang. Rumah adat didirikan di atas panggung, berbentuk memanjang, yang biasanya pembangunan menggunakan Kayu Unglin dan Tembesu. Selain ditandai dengan atapnya yang berbentuk limas, rumah tradisional ini memiliki lantai bertingkat-tingkat yang disebut Bengkilas dan hanya dipergunakan untuk kepentingan keluarga seperti hajatan. Para tamu biasanya diterima di teras atau lantai kedua. Saat ini rumah limas sudah mulai jarang dibangun karena biaya pembuatannya lebih besar dibandingkan membangun rumah biasa. Selain rumah adat masyarakat Lubai membuat rumah panggung biasa dan membangun rumah semi permanent/permanent mengikuti gaya modern saat ini.
  2. Dangau : Bangunan tempat berteduh di Ladang dan Kebon karet. Masyarakat Lubai biasanya membuat Danggau bentuk panggung, menggunakan tiang kayu Bulat dan atapnya dari pohon Palm dalam bahasa Lubai disebut Sehedang.
  3. Punduk : Bangunan tempat berteduh di Ladang dan Kebon karet. Masyarakat Lubai biasanya membuat Punduk bentuk panggung, sebagiannya ada juga tidak berbentuk panggung melainkan berlantai tanah.

Mata Pencaharian

Mata pencaharian suku Lubai ditinjau dari beberapa periode :
  1. Periode tahun 1950-1980: Mata Pencaharian masyarakat Lubai sebagian besar hidup dari tanahnya menjadi peladang yang berpindah, bercocok tanam Pisang, Ubi Kayu, berkebon Karet atau Para. Selain menjadi petani, sebagian lagi ada yang beternak Ayam. Berburu Rusa dan menangkap ikan di Sungai Lubai.
  2. Pada periode tahun 1990-2010 : Mata Pencaharian masyarakat Lubai mayoritas masyarakat menjadi petani kebun Karet atau para. Sebagian lagi orang Lubai ada yang menanam Nanas dan Jeruk. Mata pencaharian penduduk yang lain, ada yang menjadi Guru, Pegawai Negeri Sipil, sub keagenan Getah Karet. Getah Karet ini biasanya oleh petani dijual setiap hari Rabu, kepada sub keagenan. Keagenen atau sering juga disebut tokeh Karet berada di Kota Prabumulih.

Upacara Pernikahan

  1. Tahap Melamar. Dalam ritual pernikahan Adat Lubai tahap ini adalah pihak keluarga mempelai laki-laki melamar ke keluarga mempelai perempuan dengan membawa sejumlah persyaratan, di antaranya kebutuhan pokok yang diambil dari hasil bumi sendiri. Dalam upacara ini, ada istilah “behantat bekendak” artinya menyerahkan tanda keinginan keluarga calon mempelai laki-laki yang bermaksud menyunting calon mempelai perempuan.
  2. Tahap Serah-serahan. Tahap ini adalah suatu proses penyerahan barang bawaan dari keluarga laki-laki yang menandai selesainya proses lamaran. Dalam serah-serahan tersebut biasanya pihak keluarga mempelai pria menyerahkan Dodol sebanyak 100 mukun, 150 mukun bahkan sampai 250 mukun dan Kue Gula Kelapa. Jika keadaannya memungkinkan, calon mempelai laki-laki juga menyerahkan sejumlah uang kepada keluarga calon mempelai perempuan sebagai tanda pengikat pernikahan.
  3. Upacara akad nikah: Calon mempelai laki-laki diiringi oleh rombongan keluarga yang terdiri sanak keluarga, tokoh adat, datang berkunjung ke rumah calon mempelai perempuan untuk meminta dilaksanakan akad nikah. Pada prosesi ini biasanya pihak keluarga calon mempelai laki-laki membawa Jujur yaitu uang yang diminta si calon mempelai perempuan dan dinah empat berupa Keris dan seperangkat alat makan sirih untuk diserahkan kepada keluarga calon mempelai perempuan.

Organisasi sosial

Desa yang dalam bahasa Lubai disebut Dusun. Desa di Lubai pada dasarnya tidak ada pembagian-pembagiannya seperti : Daerah kediaman utama yang merupa pusat dari desa dan Daerah peladangan. Desa di Lubai terdiri dari beberapa Dusun yang di pimpin oleh seorang Kepala Dusun. Pemangku Adat. Untuk melestarikan adat istiadat di Lubai dibentuk Lembaga Pemangku Adat Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Lubai biasanya untuk membedakan antara tempat tinggal utama di desa berupa Rumah dan di ladang berupa Dangau. Sebagian besar penduduk Lubai tinggal di Daerah Desa dan hanya pada waktu-waktu tertentu mereka pergi keladang dalam basah Lubai Ume.

Kesenian

Kesenian Suku Lubai sejak zaman nenek moyang dulu telah diapresiasikan yaitu, Seni Musik : Gitar tunggal /betembang lagu daerah, Jeliheman : yaitu cerita rakyat Lubai, be andai-andai, Muneng-munengan (Teka teki) dan Bebalas pantun.

Lubai Perantauan

Lubai perantauan merupakan istilah untuk suku Lubai yang hidup di luar Kecamatan Lubai, Kabupaten Muara Enim, Provinsi Sumatera Selatan, Indonesia. Merantau merupakan sebuah kegiatan meninggalkan kampung halaman, sanak keluarga untuk mengadu nasib di negeri orang. Jumlah Lubai perantauan saat ini berjumlah 15.000 jiwa tersebar diseluruh Nusantara. Untuk menjalin komunikasi antara Suku Lubai di kampung halaman dan Lubai Perantauan telah dibentuk Forum Komunikasi Lubai Bersaudara.

No comments:

Post a Comment