Menurut penuturan masyarakat Lubai secara turun temurun bahwa masing masing desa di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) Lubai mempunyai Hikayat yang penuh makna yang mengandung unsur filosofi yang sangat mendalam, sesuai dengan karakter masyarakatnya. Hikayat Lubai yang ditulis ini adalah kajian cerita yang dituturkan Almarhum Ayahanda kami, pada tahun 1975. Berdasarkan penuturan beliau bahwa hikayat ini sudah berlangsung turun temurun sejak dahulu kala di Lubai. Penuturan beliau tersebut dikaji kembali oleh penulis dengan fakta kekinian, berdasarkan apa yang kami lihat, dengar dan alami sendiri. Marilah kita ikuti jalan cerita Hikayat Lubai sebagai berikut :
Terdapatlah sebuah desa yang sangat asri didirikan pada bagian hilir Daerah Aliran Sungai (DAS) Lubai dinamakan Kurungan Jiwa penduduk lokal menyebutnya Kurungan Jiwe. Hijau dedaunan hampir seluruhnya memenuhi pandangan mata dibagian timur desa. Pohon tinggi yang menjulang terdapat dimana mana, diantaranya tumbuhlah pohon Rengas tertata sangatlah rapih ditepian Sungai Lubai dibagian barat desa. Beberapa pohon buah-buahan tumbuh disebelah utara desa dan beberapa pohon gelam tumbuh didekat Danau Temesu pada bagian selatan pedesaan ini. Ya, desa ini seluruhnya di kemas dengan cantik oleh Yang Maha Pencipta.
Cerita Desa Kurungan Jiwa yang dituturkan Ayahanda penulis sebagai berikut :
- Lokasi Permukiman : Desa Kurungan Jiwa terletak antara desa Baru Lubai dan desa Pagar Gunung.
- Kata sifat : Masyaralat Lubai memberikan sinonim pada desa ini, dengan sebutan Gaung Suara dalam bahasa Lubai Gaung Suahe.
- Kajian penulis : Sebutan desa Kurungan Jiwa dengan sinonim Gaung Suahe, berdasarkan hasil wawancara penulis dengan sanak keluarga di rumah adik kami Milnan bin Daud saat pulang kampung bulan September tahun 2010, inonim Gaung Suahe untuk desa ini kiranya tidaklah berlebihan. Karena seperti adanya suatu kebiasaan masyarakat didesa Kurungan Jiwa pada saat mengobrol atau bercakap-cakap adalah seakan-akan berlomba siapa yang paling cepat bicaranya. Ketika kami sekeluarga bersilahturrahim dengan sepupu penulis Milnan bin Daud bin Wakif dan Sangkut Novriadi bin Sukardin bin Wakif, nampak jelas perbedaaan ketika kami bersilahturrahim dengan sepupu penulis Sangkut Abadi anak Hildayah binti Wakif di desa Gunung Raja. Perbedaan itu yang nampak jelas adalah cara bicara masyarakat desa Kurungan Jiwa sangat cepat dan keras, sehingga apabila yang mengobrol hanya 4 orang hampir menyamai suara obrolan 14 orang. Dari hasil wawancara tersebut penulis membuat suatu kesimpulan bahwa Desa Kurungan Jiwa sangatlah tepat filosofi yang melekat pada desa ini yaitu "Gaung Cerite" yaitu suatu desa yang dihuni masyarakat yang bicara mengobrol suara akan bergema. Wallahu aklam bisshowab...
No comments:
Post a Comment