Perupuk ( Lophopetalum )
Marga Lophopetalum termasuk dalam
kelompok suku Celastraceae . Di Indonesia tercatat 14 jenis, tumbuh di
daerah dataran rendah hingga dataran tinggi dan beberapa jenis tumbuh di hutan
rawa, dengan daerah persebaran meliputi Sumatra, Kalimantan,Jawa, Sulawesi,
Maluku dan Papua ( Whitmore et.al ., 1986, 1989, 1997 ).
Dua jenis perupuk dikenal mempunyai
kayu bercorak indah yaitu perupuk bukit ( Lophopetalum beccarianum Pierre
). dan perupuk rawa ( L. javanicum (Zoll.) Turcz ). Pada
umumnya kayu bercorak indah sangat bagus untuk mebel dan parket, akan tetapi
berat jenis kayu dapat menjadikan kendala. Oey Djoen Seng. (1964) melaporkakan
berat jenis (BJ) kayu perupuk rawa adalah 0,43, sedangkan BJ kayu perupuk bukit
0,63 yang berarti kayu perupuk rawa lebih ringan daripada perupuk bukit. Masyarakat Lubai menyebut jenis kayu ini dengan sebutan kayu pehupuk talang dam kayu pehupuk lebak.
Nama Daerah:
Perupuk, P. rawang, P. talang ; di
Jawa disebut Mandalaksa, di Kalimantan disebut Blabak.
Nama Internasional:
Mata ulat, perupok
(Malaysia), Abuab (filiphina), Hanate atau Balpate (Inggris), Sangtrang
(Vietnam), Song-song (Thailand), Banati (India).
(Penyebaran dan Tempat Tumbuh:
Daerah penyebaran
perupuk ini di Indonesia adalah: Aceh, Palembang, Riau, Bangka, Kalimantan,
Jawa Barat, Jawa Tengah dan Sulawesi. Sedangkan di Asia Tenggara, yaitu Siam
dan Malasyia.
Menurut Benjamin dkk (1990) perupuk (Lophopetalum
javanicum ) adalah jenis pohon dari komunitas hutan rawa. Penyebaran jenis
Perupuk (Lophopetalum javanicum) di Indonesia menurut pakar
botani dan ekologi tumbuh-tumbuhan meliputi: Sumatra Barat, Lampung, Palembang,
Pulau Nias, Bangka, Riau, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi. Kalimantan menduduki
tempat teratas dari lokasi penyebaran jenis ini.
Di Kalimantan Timur perupuk secara alami terdapat
di wilayah utara yaitu Kabupaten Berau, Kabupaten Nunukan, Bulungan yang
terdapat di tepi-tepi sungai besar seperti : Sungai Pimping, Sungai Betayau,
Sungai Sesayap, Sungai Sembakung, Sungai Sebuku, Sungai Segala dan juga tumbuh
dengan baik di sepanjang sungai-sungai kecil di Kotamadya Tarakan yang potensi
tegakan di masing-masing sangat bervariasi.
Sesuai dengan tipe hutannya, maka jenis perupuk
tumbuh di daerah yang masih terpengaruh genangan air, baik yang bersifat tetap
atau periodik. Dari adanya pengaruh pasang surut air tawar atau rawa daratan
yang genangannya tidak tetap. Di beberapa daerah, jenis perupuk dijumpai di
dataran dan daerah perbukitan yang sama sekali bukan niche rawa.
Keadaan tanah tempat tumbuh jenis perupuk umumnya
berlumpur dalam dan berwarna kehitam-hitaman atau daerah daratan yang selalu
becek atau cekungan daratan yang berupa lembah. Jenis perupuk menghendaki
tanah-tanah organik berupa rawa yang digenangi air tawar dan mempunyai potensi
kesuburan yang relatif baik. Kenyataan ini, menjadi petunjuk bahwa pada
tanah-tanah mineral yang kering jarang ditemukan kehadiran pohon perupuk.
Iklim untuk persyaratan untuk tumbuh bagi jenis
perupuk seperti halnya hutan rawa pada umumnya, yaitu beriklim selalu basah
dengan curah hujan rata-rata setiap bulannya tidak kurang 100 mm. Dalam hal
ketinggian tanah dari muka laut berada pada ketinggian 0–5 m. Dari populasi
jenis-jenis yang tumbuh di hutan rawa, kayu perupuk mempunyai nilai komersial
yang tinggi berhubung dengan sifat –sifat kayunya yang baik dam menjadi
komoditas ekspor.
Namun ada halnya yang kurang menguntungkan secara
ekonomis di alam yaitu penyebaran tumbuhnya tidak merata atau sporadis.
Diperkirakan penyebaran kelompok perupuk pada tempatnya dalam satuan luas 1 ha
hanya 20–30 % dan kontinuitas pun tidak seragam. Kadang hanya ditemukan satu ke
kelompk berikutnya terpisah dengan jarak yang pendek kurang lebih 200–500 m,
namun ada juga sampai 1 km atau lebih baru dijumpai adanya kelompok perupuk.
Pada kelompoknya sendiri perupuk tumbuh sangat rapat sampai ada berjarak 1
meter antar pohon. Karena kelompok ini di lapangan tidak luas tidak merata,
maka potensi per satuan hektar menjadi kecil.
Keterangan Botanis
Menurut Benjamin dkk (1990) batang pohon Perupuk
monopodial, berbentuk bulat dengan percabangan yang jarang. Percabangan yang
jarang ini menampakan tajuk terlihat tipis. Tinggi pohon bisa mencapai 45 meter
dan tinggi bebas cabang antara 20-30 m. Diameter pohon bisa mencapai 110 cm.
Tajuk pohon perupuk menduduki strata A dan B dengan bentuk membulat. Kulit
batang putih ke abu-abuan bercampur gambaran berwarna hitam. Bekas
cabang–cabang yang telah lepas dari batangnya membuat sedikit tonjolan dan
garis yang melingkar dan besarnya bisa mencapai setengah lingkaran batang.
Tebal kulit batang mencapai 1,5-3
cm, kulit dalam berwarna kemerah-merahan dan tidak berteras. Dalam hal
ketebalan kulit batang, dalam hutan terdapat kesan ada pohon perupuk dengan
kulit tipis, kayunya berwarna lebih putih dan pohon perupuk dengan kulit tebal
dimana kayunya berwarna putih kemerah-merahan.
Pohon perupuk memiliki jenis daun
tunggal dimana duduk daun saling berhadapan. Tangkai daun panjang 1,5 – 2,5 cm,
bentuk daun oval sampai lonjong dan panjang daun 15 – 31 cm. Peruratan daun
sekunder dan menyirip, jumlah urat daun mencapai 12 – 15 pasang. Peruratan daun
melengkung dan lepas, permukaan daun bagian atas licin dan bagian bawah
memiliki urat daun yang jelas, pinggiran helai daun rata sampai bergelombang.
Ujung daun meruncing (acuminatus), pangkal daun tumpul (rotundatus). Helai daun
(lamina) tebal berdaging (cornutus).
Bunga majemuk, mulai berbenang
sari kecil–kecil, kelopak bunga (calyx) terdiri dari 5 helai berlekatan
berwarna hitam cerah. Daun mahkota (corolla) berjumlah 5 helai berlepasan.
Warna helai kuning kehitam-hitaman. Benang sari (stamen) terdiri dari 5 buah
(pentamerous) sedangkan pistil (bakal buah) tunggal. Bunga yang menjadi buah
sangat sedikit, yaitu dalam 1 tangkai 5–10 buah. Warna bunga yang gagal menjadi
buah ditandai dengan warna hitam dan mengering.
Bentuk buah triagonal memanjang,
warna buah waktu masih muda berwarna hijau dan sudah tua coklat. Panjang buah
bisa mencapai 11 cm dengan diameter 4 cm. Buah terdiri atas 3 kotak. Tiap kotak
terdiri atas sederetan biji bersayap, berjumlah 8 sampai 12 biji perbuah. Biji
besar berukuran panjang 7–10 cm dan lebar 0,75-1,3 cm. Biji perupuk adalah dari
golongan dicotyledon. Keping berbiji berwarna putih berbentuk pipih lonjong dan
nampak ada bagian kecil menonjol berada pada pinggir salah satu sisi sayap.
Tonjolan kecil pada keping tersebut berada pada sisi luar keping biji merupakan
lembaga. Pada waktu penyemaian maka posisi lembaga ini harus menempel pada
media.
Keping biji terbungkus oleh sayap
yang bentuknya juga lonjong pipih berwarna coklat jika sudah masak. Apabila
sayap biji ini dipatahkan, nampak penampang melintang berwarna putih dan daging
sayap seperti gabus. Dari keadaan biji seperti terbungkus gabus tersebut,
biji-biji perupuk tersebar dan mengapung bila tergenang air. Secara alamiah
dari biji yang tersebar secara random ini, apabila tersangkut dan berhasil
menempel pada media yang sesuai akan tumbuh menjadi permudaan dan membentuk
tegakan alami perupuk.
Jenis perupuk yang telah mencapai
tingkatan pohon mulai menampakan terbentuknya akar banir berukuran sedang dan
tipis. Pada pohon dewasa bisa mencapai ketinggian ± 1,5 m dari permukaan tanah.
Selain memiliki banir, jenis perupuk memiliki akar nafas (phneumatophora) yang
timbul mencuat ke permukaan dan membentuk akar–akar lutut (knee root). Satu
pohon bisa membentuk sampai 50 akar lutut. Adanya akar lutut ini sebagai
adaptasi terhadap habitatnya dan menjadi khas sebagai jenis pohon hutan rawa.
Habitat hutan seperti ini adalah berlumpur dan drainasenya sangat jelek. Dengan
adanya akar lutut tersebut, maka akar masih dapat memenuhi kebutuhan oksigen
melalui bentukan akar-akar lututnya. Tinggi akar lutut ini bisa mencapai 1 m
dari permukaan tanah. Yang paling menarik adalah jenis perupuk ini tidak
membentuk akar tunggang melainkan akar–akar horizontal (lateral). Padahal semua
jenis pohon yang tergolong dalam dycotyledone seharusnya memiliki akar tunggang
yang dalam.
Diduga pada mulanya Perupuk
sampai tingkatan pancang, memiliki akar tunggang dan pada kedalaman tertentu
tidak mampu hidup terus dan akar tunggang menjadi mati. Kehidupan pohon dewasa
hanya ditunjang oleh akar lateral yang kemudian tumbuh menjalar dan dangkal,
menyebabkan pohon–pohon mudah tumbang dan membentuk bongkahan akar.
Struktur Anatomi Kayu
Menurut Benjamin dkk (1990) susunan pori adalah
tata baur, tidak ada perbedaan yang jelas antara kayu awal dan kayu akhir,
demikian juga perbedaan antara kayu gubal dan kayu teras. Ukuran pori– pori
ratanya 145,3 mikron, sehingga dapat dikategorikan termasuk agak kecil sampai
sedang. Jumlah pori kayu perupuk per m2 yaitu 4,4 dimana termasuk
kategori kelas jarang.Menurut hasil penelitian Bandi Supraptono ( 1990 ) tinggi
jari–jari kayu perupuk rata–rata 387,8 mikron, Dikatagorikan pendek sampai
sedang. Jumlah jari–jari berkisar antara 9 – 9,7 buah per m2, dapat
digolongkan agak banyak. Rata-rata lebar jari -jari adalah 16,9 mikron dapat
diklasifikasikan sempit.
Persentase sel pembuluh (pori) hanya sebesar 9,85 %
sehingga termasuk kayu yang mempunyai persentase sel pembuluh yang jarang.
Persentase sel parenkhim jari–jari memiliki nilai rata–rata 12,7 %. Semakin
bertambah nilai persentase ini akan mempengaruhi sifat–sifat mekanik kayu
tersebut. Persentase sel serabut pada kayu perupuk adalah 75 %, cukup tinggi
dibanding dengan beberapa jenis kayu lain yang mempunyai kerapatan yang sama.
Persentase parenkhim axial (sejajar serat) kayu j Perupuk relatif rendah,
rata–rata hanya 2,3 %
Dimensi arah kayu erat hubungannya dengan kekuatan
kayu dan merupakan komponen utama dalam pembuatan pulp dan kertas. Panjang
serat kayu perupuk rata–rata 1,157 mikron, tergolong jenis kayu berserat
pendek. Serat kayu perupuk berdiameter 26,3 mikron, diameter rongga serat 18,6
mikron sedangkan tebal dinding serat 3,7 mikron. Sehingga jenis perupuk ini
dapat dikategorikan kelas II untuk bahan pulp dan kertas.
Sifat Fisika Kayu
Pengetahuan kadar air segar sangat perlu untuk
diketahui, karena mempunyai implikasi ekonomis, misalnya dalam hal pengangkutan
kayu dari tempat pengumpulan/ logpond. Menurut penelitian Supraptono (1990)
kadar air kayu segar jenis perupuk adalah 87,53%. Jadi cukup tinggi kadar
airnya dan hal ini menyebabkan pelunya perlakuan khususnya saat memproses atau
mengolah kayu.
Menurut penggolongan kerapatan
kayu yang disusun oleh Soenardi (1976) dalam Supraptono (1990), kayu perupuk
termasuk jenis kayu yang mempunyai kerapatan ringan sampai mendekati kerapatan
kayu jenis jelutung, kelempayan pulai, lempung, rengas, kenuar dan mahang yang
merupakan jenis- jenis kayu cepat membesar baik yang tumbuh di hutan alami
maupun di hutan sekunder.
Kayu perupuk mempunyai rata-rata pengembangan ke
arah tangensial sebesar 5,66%, arah radial 4,07%, dan pengembangan volume
9,73%. Pengembangan ke arah longtudinal sangat kecil, karena itu dapat
diklasifikasikan sebagai kayu stabil.
E.SSifat Mekanika Kayu
Menurut Benjamin dkk (1990) kayu
perupuk mempunyai nilai keteguhan tekan sejajar rata- ratanya 308,66 kg/cm2
dengan nilai koefisien variasi 13,5%. Nilai koefisiensi yang rendah ini
menunjukan bahwa keteguhan tekan sejajar serat kayu perupuk cukup homogen.
Keteguhan tekan sejajar serat ini penting artinya dalam pemakaian kayu- kayu
untuk tiang konstruksi atau tiang pada mebel. Jika dibandingkan dengan jenis
kayu tropik lainnya yang mempunyai kerapatan hampir sama, ternyata kayu perupuk
mempunyai keteguhan tekan sejajar serat yang lebih besar.
Berdasarkan klasifikasi kekuatan kayu di Indonesia,
kerapatannya termasuk kelas IV dan III tetapi keteguhan tekan sejajar seratnya
termasuk kelas II. Sifat ini merupakan suatu hal yang sangat menguntungkan
karena walaupun bobotnya ringan, kayu perupuk mempunyai kekuatan tekan sejajar
yang tinggi. Keteguhan lentur pada pohon Perupuk berdiameter kecil, nilai
rata-ratanya adalah 71,65 kg/cm2 dengan koefisien variasi 16,20%.
Sedangkan pada pohon berdiameter besar diperoleh nilai rata-rata 89,50 kg/cm2
dengan koefisien variasi 17,4%, sehingga kayu perupuk mempunyai nilai keteguhan
lentur yang tinggi.
Nilai rata- rata keteguhan geser pada kayu perupuk
adalah 78,7 kg/cm2 pada arah tangensial dengan koefisien variasi
12,51% dan 72,4 Kg/Cm2 pada arah radial dengan koefisien variasi 13,55%. Nilai
rata-rata keteguhan pukul kayu perupuk adalah 0,0468 mN/mm2 atau
0,0468 joule/mm2 dengan koefisien variasi 20,25%. Secara keseluruhan
menunjukan nilai rata-rata keteguhan pukul yang lebih tinggi.
Perlakuan Sivikultur
Batasan dan Tujuan Penjarangan
Beberapa pakar budidaya hutan telah memberikan
batasan- batasan dan tujuan penjarangan yang dasar dan prinsipnya sama. Batasan
dan tujuan tersebut antara lain:
- Penjarangan ialah pengurangan sejumlah pohon dalam satu tegakan yang umumnya dilakukan beberapa kali serta dilaksanakan sejak tajuk tegakan bertaut (Evans, 1982).
- Penjarangan adalah penebangan pohon- pohon dalam suatu tegakan yang belum dewasa untuk merangsang pertumbuhan pohon-pohon yang ditinggalkan dan untuk menambah hasil keseluruhan dari material yang beberapa dari tegakan (Smith, 1962).
- Penjarangan yaitu penebangan yang dilakukan antara penanaman dan tebang habis dari jenis yang diusahakan. Tindakan penjarangan berarti mengurangi jumlah pohon sehingga dengan sendirinya kompetisi sinar, air, dan hara akan berkurang. Tujuan memusatkan riap tegakan hanya pada pohon-pohon yang dipelihara (pohon unggulan) sampai akhir daur (Kustiawan dan Sutisna,1987)
- Penjarangan adalah kegiatan memacu pertumbuhan pada pohon binaan dengan cara membebaskan tajuk pohon binaan dari persaingan (naungan dan desakan) pohon lainnya dalam tegakan. Tujuan penjarangan adalah memusatkan riap tegakan kepada pohon binaan. Pohon binaan yaitu pohon-pohon terbaik dalam tegakan yang diharapkan menjadi pembawa riap tegakan atau penghasil kayu perdagangan. Dengan batasan di atas nampak bahwa mengurangi jumlah pohon dalam tegakan bukanlah tujuan, melainkan alat untuk memaksmialkan keuntungan pengolaan hutan (Sutisna, 1999).
Tujuan penjarangan
- Mengurangi sejumlah pohon sehingga pohon tinggal memliki ruang hidup yang cukup baik untuk tajuk maupun perakarannya sehingga dapat merangsang pertumbuhan diameter pohon agar dalam waktu singkat dapat mencapai ukuran yang diinginkan.
- Membuang pohon-pohon mati, terserang penyakit dan pohon- pohon lain yang menjadi sumber penyakit atau infeksi dan penyebab kerusakan terhadap pohon- pohon yang sehat.
- Mengkonsentrasikan riap di masa yang akan datang pada pohon- pohon yang sehat dengan membuang pohon-pohon yang memiliki batang dan percabangan yang jelek.
- Memberikan kesempatan pada pohon-pohon yang sehat dan berbatang baik untuk tumbuh dan berkembang lebih baik dan leluasa.
- Mengembalikan sebagian investasi yang diperoleh dari hasil penjualan kayu penjarangan.
Dasar Penjarangan
Tindakan penjarangan dilaksanakan berdasarkan
pertimbangan dari sifat pertumbuhan tegakan secara alami, sebagaimana telah
dikemukakan beberapa pakar budidaya hutan seperti yang dikutip oleh Manan
(1976) diantaranya:
- Langsaeter (1951) mengemukakan bahwa volume total dari tegakan tidak dipengaruhi oleh kerapatannya, kecuali bilamana terlalu rendah. Tetapi struktur dapat diubah dengan distribusi riap lebih kepada jumlah pohon yang optimal. Perubahan ini dapat dilakukan dengan penjarangan.
- Hawley dan Smith (1960) memberikan dua alasan mengapa penjarangan harus dilakukan, yaitu memusatkan potensi pertumbuhan tegakan pada sejumlah pohon yang optimal dan untuk menggunakan semua materi yang berharga pada tegakan selama masa daurnya.
- Baker (1934) memberikan teori dasar untuk penjarangan yaitu:
- Tegakan dikurangi sampai di bawah bidang dasar maksimal pada suatu umur tertentu akan cenderung mencapai kembali kenormalan.
- Jika jumlah pohon per satuan luas berlebihan, pertumbuhan diameter dan perkembangan individunya akan terganggu dan tertahan.
- Jika jumlah pohon berlebihan akan menghambat pertumbuhan individu, maka hal ini mengurangi volume kayu berharga dengan menyebarkan penambahan kayu pada banyak pohon kecil yang menggantikan sejulah besar pohon- pohon yang dapat digunakan dengan lebih efisien.
Metode Penjarangan
Evans ( 1982) menjelaskan bahwa penjarangan dibagi
menjadi dua macam metode, yaitu penjarangan sistematik dan penjarangan
selektif.
- Penjarangan sistematik (sytematic thinning). Penjarangan menggunakan suatu prosedur sistematik dimana kelas tajuk dan kualitas pohon tidak menjadi pertimbangan dalam memiih pohon- pohon mana yang akan dibuang. Bentuk yang paling umum adalah penjarangan baris atau jalur, sedang kekerasan penjarangan ditentukan oleh proporsi baris atau jalur yang dibuang.
- Penjarangan selektif. Pada penjarangan ini peranan penandaan pohon sangat besar dimana pohon yang akan dibuang atau ditinggalkan tergantung kepada kebijaksanaan pertimbangan.
Penjarangan rendah (low thinning). Metode ini umumnya digunakan pada penjarangan selektif, karena dilakukan dengan cara membuang pohon-pohon kecil pada kelas tajuk terbawah sehingga pohon- pohon tinggal memiliki pertumbuhan yang lebih cepat. Penjarangan rendah ini dibagi atas empat macam tingkatan kekerasannya yaitu:
- Penjarangan ringan : menebang pohon-pohon yang tertekan, terkena penyakit, hampir mati dan mati.
- Penjarangan sedang : menebang pohon-pohon pada tingkat pohon- pohon ternaung dan banyak cabang.
- Penjarangan keras : menebang pohon- pohon pada tingkat A dan B, semua pohon kodominan dan dominan yang jelek atau cacat tanpa menimbulkan celah atau rumpang pada tajuk.
- Penjarangan sangat keras : menebang pohon-pohon pada tingkat A, B, dan C ditambah dengan semua pohon kodominan dan dominan yang jelek sehingga tinggal pohon- pohon berbatang dan bertajuk baik.
Penjarangan tajuk (crown thinning). Metode ini lebih komplek daripada penjarangan
rendah karena mengikut-sertakan penebangan beberapa pohon dominan dan kodominan
untuk membebaskan pohon- pohon yang terpilih dari kelas yang sama sampai akhir
daur. Dalam penjarangan ini terdapat dua tingkat
kekerasan yaitu:
- Penjarangan tajuk ringan (light crown thinning). Pohon- pohon yang ditebang adalah pohon mati, akan mati dan bentuk batang menggarpu serta beberapa pohon dalam kelas tajuk pohon teratas. Hal ini untuk membebaskan tajuk pohon dominan dan kodominan yang ditinggalkan.
- Penjarangan tajuk berat (heavy crown thinning). Dalam metode ini pertama-tama dipilih sebanyak 200 pohon sebagai pohon unggulan dan 200 pohon sebagai cadangannya yang tersebar merata. Penebangan dilakukan di sekitar pohon-pohon unggulan untuk membebaskan tajuknya secara penuh. Jadi dalam penjarangan ini banyak membuang pohon-pohon kelas dominan dan kodominan yang menggarpu pohon unggulan dari kelas yang sama. Penjarangan adalah kegiatan vital perusahaan yang menentukan produktivitas tegakan tinggal. Dengan demikian, penjarangan hanya boleh dan harus dikerjakan secara profesional dan tepat waktu. satu petak disebut selesai dijarangi bila dengan pemeriksaan uji petik yang absah ditemukan sekurang-kurangnya 80% pohon binaan, dihitung dari jumlah semestinya pohon binaan pada setiap tahap penjarangan, telah memiliki ruang tajuk yang longgar.
Kegiatan penjarangan di hutan alami produksi
merupakan lanjutan kegiataan pembebasan yaitu pada tingkat tiang dan pohon yang
menurut petunjuk teknis Tebang pilih Tanam Indonesia dilakukan sebanyak 3 kali
dalam satu daur yaitu pada saat Et+10, 15 dan 20 dengan maksud untuk
mempertahankan riap dan tujuan untuk memusatkan riap pada pohon-pohon binaan
dalam tegakan tinggal.
Pada penjarangan TPTI, yang dimaksud pohon binaan
adalah pohon jenis niagawi terbaik per hektar, termasuk diantaranya 25 – 50
batang pohon inti, yang tersebar merata di seluruh tegakan tinggal.
- Jarak rataan satu sama lain 7 m, minimal 5 m.
- Jenisnya niagawi utama setempat.
- Ukuran terbesar ditempatnya.
- Sehat batang sehat tajuk.
- Semua pohon jenis yang dilindungi.
- Semua pohon berbatang sehat dengan diameter ≥ 40 cm.
Pengaruh Penjarangan
Evans (1982) mengemukakan bahwa ada tiga macam
pengaruh penjarangan terhadap tegakan yaitu:
Pengaruh terhadap proses fisiologis : Tindakan penjarangan akan berakibatkan berkurangnya
jumlah pohon yang bersaing dalam memperoleh cahaya air, unsur hara dan ruang
tumbuh. Penjarangan secara tidak langsung juga mempergaruhi kelembaban tanah,
misal, misalnya setelah penjarangan cahaya yang masuk ke lapisan tajuk akan
lebih banyak sehingga pertumbuhan bawah akan semakin cepat, penguraian humus
bertambah besar dan kadang-kadang tumbuh tunas baru pada batang.
Berkurangnya persaingan antar pohon akan
menimbulkan tiga pengaruh utama:
- Kematian alami akan menurun. Setelah penjarangan pohon yang tadi tertekan dan akan mati dapat tumbuh terus karena masuknya cahaya ke celah-celah pohon.
- Tajuk pohon yang tertinggal akan semakin panjang. Cabang-cabang terbawah yang tadi ternaungi akan memperoleh cahaya dan hidup lebih baik, karena pohon-pohon yang menaungi telah dibuang.
- Perkembangan tajuk. Bertambahnya ruang dan cahaya setelah penjarangan akan mengakibatkan pertumbuhan tunas akar, selain itu juga akan berkembang menutupi atau mengisi ruang yang kosong yang berupa celah-celah dalam lapisan tajuk.
Pengaruh terhadap ukuran pohon: Bagi pertumbuhan individu pohon, pengaruh utama
dari penjarangan adalah bertambah besarnya perkembangan diameter pohon-pohon
tinggal. Ditambahkan oleh Asmann (1970) yang dikutip oleh Evans (1982), bahwa
penjarangan tidak begitu berpengaruh terhadap pertumbuhan tinggi.
Karena pengaruh penjarangan terhadap perkembangan
diameter besar, sedangkan pertumbuhan tinggi tidak begitu berpengaruh, maka
penjarangan akan mengubah bentuk pohon. Semua pengaruh ini akan berlangsung
sebelum persaingan antar pohon terjadi kembali. Karenanya itu perlu dilakukan
penjarangan lagi pada interval waktu tertentu selama masa daurnya.
Pengaruh kekerasan penjarangan: Dalam penjarangan kita dapat menebang pohon dalam
jumlah banyak (penjarangan keras) atau dalam jumlah yang sedikit (penjarangan
lemah). Jadi penjarangan mempunyai tingkat kekerasan yang berbeda-beda.
Kekerasan penjarangan ini sendirinya akan
menimbulkan pengaruh yang berbeda-beda pula. Dan kekerasan penjarangan
mempunyai tiga aspek yang saling berkaitan yaitu:
- Kapan penjarangan pertama dimulai.
- Berapa besar proporsi pohon yang dibuang.
- Berapa kali penjarangan akan dilakukan.
Kustiawan & Sutisna (1987) juga mengemukan
pendapatnya mengenai pengaruh penjarangan terhadap tegakan yang pada prinsipnya
sama yaitu:
- Terhadap struktur tegakan. Penjarangan dengan beberapa tingkat tingkat kekerasannya akan menimbulkan perubahan terhadap struktur tegakan. Di mana dengan berkurangnya jumlah pohon dalam suatu tegakan (lebih banyak pohon0pohon kecil), akan menyebabkan sebaran diameter terpusat pada pohon-pohon besar dan terpilih (unggulan). Dengan kata lain bahwa jumlah pohon per hektar sedikit tetapi gemuk-gemuk.
- Terhadap mutu kayu. Untuk sementara waktu akan menurunkan faktor bentuk. Memperbesar cabang dan mata kayu untuk itu perlu pemangkasan tinggi (anjuran). Diameter berkembang cepat, sehingga kayu lebih lemah. Dianjurkan agar tekstur kayu seragam maka perlu penjarangan yang tidak keras tapi sering.
- Terhadap ukuran pohon. Pengaruh penjarangan yang besar adalah mempercepat perkembangan diameter. Sedangkan terhadap tinggi tidak berpengaruh, kecuali pada penjarangan sangat keras dapat menyebabkan riap tinggi sedikit terlambat di bandingkan dengan riap tinggi pada pohon-pohon yang tumbuh rapat.
Weidelt (1987) leih lanjut mengemukakan bahwa
tindakan penjarang an akan mempengaruhi parameter tegakan yang antara lain:
- Jumlah pohon per hektar
- Diameter rataan
- Tinggi rataan
- Faktor bentuk
- Bidang dasar per hektar dan
- Riap volume per hektar.
Sedangkan Manan (1976) menyatakan bahwa dalam
penjarangan ada empat hal yang mempengaruhi hasil akhirnya yaitu:
- umur tegakan pada waktu penjarangan dilakukan
- periodisitas penjarangan
- jumlah pohon yang dihilangkan dan
- kelas tajuk yang dihilangkan.
Evans (1982) mengemukakan bahwa intersitas
penjarangan akan mempengaruhi hasil perkembangan yang digunakan, karena dengan
metode yang berbeda mak kriteria pohon yang dibuang juga akan berbeda.
Metode penjarangan akan mempengaruhi:
- Tinggi rataan tegakan.
- Diameter rataan dan sebaran diameter.
- Perbandingan ukuran antara volume pohon rataan yang dijarangi dengan volume rataan yang dijarangi tetap.
Sumber : http://divisiflora.wordpress.com
No comments:
Post a Comment