Di balik keberadaan dunia dan isinya yang terhampar luas, sesungguhnya terkandung banyak sekali harapan bagi umat manusia yang mau berfikir dan berbuat. Harapan ini melekat dengan beragam aspek kehidupan yang dijalani. Bahkan bagi orang-orang yang beriman, suatu harapan harus tetap melekat hingga akhir kehidupan dunia yang fana ini. Itulah harapan ketika hendak memasuki alam keabadian.
Terciptanya manusia, juga merupakan tahapan dari serangkaian harapan. Bermula dari seorang bayi yang tidak berdaya, diharapkan ia tumbuh dewasa dan mandiri dalam menjalani hidup. Bermula dari seorang bayi yang bergantung pada belas kasih orangtua, diharapkan kelak menjadi manusia yang berbakti pada orangtua, mampu membangun rumah tangga yang sakinah, serta menjadi insan yang berguna bagi orang banyak. Bermula dari bayi yang hanya bisa menangis dalam merespon sesuatu, nantinya diharapkan menjadi hamba yang tegar dalam mengarungi kehidupan, serta istiqomah dalam menjalankan perintah-perintah Tuhannya, Allah swt.
Harapan (ar-rajā’) tidak boleh sirna selama manusia masih menjalani hidup. Ia harus tetap tumbuh seiring dengan rasa optimis (tafāul) dalam menghadapi kehidupan. Harapan adalah oksigen bagi jiwa yang menjalani kehidupan dengan penuh optimisme. Tanpa adanya kekuatan dari harapan dan optimisme, derasnya gelombang kehidupan akan menghanyutkan manusia dalam keputusasaan. Apalagi, keputusasaan, di samping melemahkan semangat berjuang, sifat ini bukanlah karakter dari hamba yang beriman.
”Janganlah kamu bersikap lemah (pesimis), dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamu adalah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman”. (Ali Imran :139)
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, ‘Tuhan kami ialah Allah,’ kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan); ‘Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih, dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu”. (Fushshilat : 30)
Sebagai insan yang beriman, kita tidak dibenarkan pesimis dan rendah diri karena Allah bersama kita. Allah menegaskan bahwa Dialah sebaik-baik penolong dan pelindung. Dia juga Maha Pemberi Karunia. (lihat Ali ‘Imran : 173-174).
Bukankah keyakinan ini sudah lebih dari cukup untuk menjadi landasan, agar kita senantiasa memiliki harapan dan optimisme dalam hidup?
Terciptanya manusia, juga merupakan tahapan dari serangkaian harapan. Bermula dari seorang bayi yang tidak berdaya, diharapkan ia tumbuh dewasa dan mandiri dalam menjalani hidup. Bermula dari seorang bayi yang bergantung pada belas kasih orangtua, diharapkan kelak menjadi manusia yang berbakti pada orangtua, mampu membangun rumah tangga yang sakinah, serta menjadi insan yang berguna bagi orang banyak. Bermula dari bayi yang hanya bisa menangis dalam merespon sesuatu, nantinya diharapkan menjadi hamba yang tegar dalam mengarungi kehidupan, serta istiqomah dalam menjalankan perintah-perintah Tuhannya, Allah swt.
Harapan (ar-rajā’) tidak boleh sirna selama manusia masih menjalani hidup. Ia harus tetap tumbuh seiring dengan rasa optimis (tafāul) dalam menghadapi kehidupan. Harapan adalah oksigen bagi jiwa yang menjalani kehidupan dengan penuh optimisme. Tanpa adanya kekuatan dari harapan dan optimisme, derasnya gelombang kehidupan akan menghanyutkan manusia dalam keputusasaan. Apalagi, keputusasaan, di samping melemahkan semangat berjuang, sifat ini bukanlah karakter dari hamba yang beriman.
”Janganlah kamu bersikap lemah (pesimis), dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamu adalah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman”. (Ali Imran :139)
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, ‘Tuhan kami ialah Allah,’ kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan); ‘Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih, dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu”. (Fushshilat : 30)
Sebagai insan yang beriman, kita tidak dibenarkan pesimis dan rendah diri karena Allah bersama kita. Allah menegaskan bahwa Dialah sebaik-baik penolong dan pelindung. Dia juga Maha Pemberi Karunia. (lihat Ali ‘Imran : 173-174).
Bukankah keyakinan ini sudah lebih dari cukup untuk menjadi landasan, agar kita senantiasa memiliki harapan dan optimisme dalam hidup?
Sumber : http://www.jasadesainwebsite.ne
No comments:
Post a Comment