Jati adalah sejenis pohon penghasil kayu bermutu tinggi. Pohon besar, berbatang lurus, dapat tumbuh mencapai tinggi 30-40 m. Berdaun besar, yang luruh di musim kemarau.
Jati dikenal dunia dengan nama teak (bahasa Inggris). Nama ini berasal dari kata thekku (തേക്ക്) dalam bahasa Malayalam, bahasa di negara bagian Kerala di India selatan. Nama ilmiah jati adalah Tectona grandis L.f.
Jati dapat tumbuh di daerah dengan curah hujan 1 500 – 2 000 mm/tahun dan suhu 27 – 36 °C baik di dataran rendah maupun dataran tinggi. Tempat yang paling baik untuk pertumbuhan jati adalah tanah dengan pH 4.5 – 7 dan tidak dibanjiri dengan air. Jati memiliki daun berbentuk elips yang lebar dan dapat mencapai 30 – 60 cm saat dewasa.
Jati memiliki pertumbuhan yang lambat dengan germinasi
rendah (biasanya kurang dari 50%) yang membuat proses propagasi secara
alami menjadi sulit sehingga tidak cukup untuk menutupi permintaan atas
kayu jati. Jati biasanya diproduksi secara konvensional dengan menggunakan biji.
Akan tetapi produksi bibit dengan jumlah besar dalam waktu tertentu
menjadi terbatas karena adanya lapisan luar biji yang keras.
Beberapa alternatif telah dilakukan untuk mengatasi lapisan ini seperti
merendam biji dalam air, memanaskan biji dengan api kecil atau pasir
panas, serta menambahkan asam, basa, atau bakteri. Akan tetapi alternatif tersebut masih belum optimal untuk menghasilkan jati dalam waktu yang cepat dan jumlah yang banyak.
Umumnya, Jati yang sedang dalam proses pembibitan rentan terhadap beberapa penyakit antara lain leaf spot disease yang disebabkan oleh Phomopsis sp., Colletotrichum gloeosporioides, Alternaria sp., dan Curvularia sp., leaf rust yang disebabkan oleh Olivea tectonea, dan powdery mildew yang disebabkan oleh Uncinula tectonae. Phomopsis sp. merupakan penginfeksi paling banyak, tercatat 95% bibit terkena infeksi pada tahun 1993-1994. Infeksi tersebut terjadi pada bibit yang berumur 2 – 8 bulan. Karakterisasi dari infeksi ini adalah adanya necrosis
berwarna coklat muda pada pinggir daun yang kemudian secara bertahap
menyebar ke pelepah, infeksi kemudian menyebar ke bagian atas daun, petiol, dan ujung batang yang mengakibatkan bagian daun dari batang tersebut mengalami kekeringan.
Jika tidak disadari dan tidak dikontrol, infeksi dari Phomopsis sp.
akan menyebar sampai ke seluruh bibit sehingga proses penanaman jati
tidak bisa dilakukan.
Habitus
Pohon besar dengan batang yang bulat lurus, tinggi total mencapai 40 m. Batang bebas cabang (clear bole)
dapat mencapai 18-20 m. Pada hutan-hutan alam yang tidak terkelola ada
pula individu jati yang berbatang bengkok-bengkok. Sementara varian jati
blimbing memiliki batang yang berlekuk atau beralur dalam; dan jati pring (Jw., bambu) nampak seolah berbuku-buku seperti bambu.
Kulit batang coklat kuning keabu-abuan, terpecah-pecah dangkal dalam
alur memanjang batang.dan seringkali masyarakat indonesia salah
mengartikan jati dengan tanaman jabon( antocephalus cadamba ) padahal mereka dari jenis yang berbeda.
Pohon jati (Tectona grandis sp.) dapat tumbuh meraksasa selama
ratusan tahun dengan ketinggian 40-45 meter dan diameter 1,8-2,4 meter.
Namun, pohon jati rata-rata mencapai ketinggian 9-11 meter, dengan
diameter 0,9-1,5 meter.
Pohon jati yang dianggap baik adalah pohon yang bergaris lingkar
besar, berbatang lurus, dan sedikit cabangnya. Kayu jati terbaik
biasanya berasal dari pohon yang berumur lebih daripada 80 tahun.
Daun umumnya besar, bulat telur terbalik, berhadapan, dengan tangkai
yang sangat pendek. Daun pada anakan pohon berukuran besar, sekitar
60-70 cm × 80-100 cm; sedangkan pada pohon tua menyusut menjadi sekitar
15 × 20 cm. Berbulu halus dan mempunyai rambut kelenjar di permukaan
bawahnya. Daun yang muda berwarna kemerahan dan mengeluarkan getah
berwarna merah darah apabila diremas. Ranting yang muda berpenampang segi empat, dan berbonggol di buku-bukunya.
Bunga majemuk terletak dalam malai besar, 40 cm × 40 cm atau lebih
besar, berisi ratusan kuntum bunga tersusun dalam anak payung menggarpu
dan terletak di ujung ranting; jauh di puncak tajuk pohon. Taju mahkota
6-7 buah, keputih-putihan, 8 mm. Berumah satu.
Buah berbentuk bulat agak gepeng, 0,5 – 2,5 cm, berambut kasar dengan
inti tebal, berbiji 2-4, tetapi umumnya hanya satu yang tumbuh. Buah
tersungkup oleh perbesaran kelopak bunga yang melembung menyerupai balon kecil.
Sifat ekologis & penyebaran
Jati menyebar luas mulai dari India, Myanmar, Laos, Kamboja, Thailand, Indochina, sampai ke Jawa. Jati tumbuh di hutan-hutan gugur, yang menggugurkan daun di musim kemarau.
Menurut sejumlah ahli botani, jati merupakan spesies asli di Burma,
yang kemudian menyebar ke Semenanjung India, Muangthai, Filipina, dan
Jawa. Sebagian ahli botani lain menganggap jati adalah spesies asli di
Burma, India, Muangthai, dan Laos.
Sekitar 70% kebutuhan jati dunia pada saat ini dipasok oleh Burma.
Sisa kebutuhan itu dipasok oleh India, Thailand, Jawa, Srilangka, dan
Vietnam. Namun, pasokan dunia dari hutan jati alami satu-satunya berasal
dari Burma. Lainnya berasal dari hasil hutan tanaman jati.
Jati paling banyak tersebar di Asia. Selain di keempat negara asal
jati dan Indonesia, jati dikembangkan sebagai hutan tanaman di Srilangka
(sejak 1680), Tiongkok (awal abad ke-19), Bangladesh (1871), Vietnam
(awal abad ke-20), dan Malaysia (1909).
Iklim yang cocok adalah yang memiliki musim kering yang nyata, namun tidak terlalu panjang, dengan curah hujan
antara 1200-3000 mm pertahun dan dengan intensitas cahaya yang cukup
tinggi sepanjang tahun. Ketinggian tempat yang optimal adalah antara 0 –
700 m dpl; meski jati bisa tumbuh hingga 1300 m dpl.
Tegakan jati sering terlihat seperti hutan sejenis, yaitu hutan yang seakan-akan hanya terdiri dari satu jenis pohon.
Ini dapat terjadi di daerah beriklim muson yang begitu kering,
kebakaran lahan mudah terjadi dan sebagian besar jenis pohon akan mati
pada saat itu. Tidak demikian dengan jati. Pohon jati termasuk spesies
pionir yang tahan kebakaran karena kulit kayunya tebal. Lagipula, buah
jati mempunyai kulit tebal dan tempurung yang keras. Sampai batas-batas
tertentu, jika terbakar, lembaga biji jati tidak rusak. Kerusakan
tempurung biji jati justru memudahkan tunas jati untuk keluar pada saat
musim hujan tiba.
Guguran daun lebar dan rerantingan jati yang menutupi tanah melapuk
secara lambat, sehingga menyulitkan tumbuhan lain berkembang. Guguran
itu juga mendapat bahan bakar yang dapat memicu kebakaran —yang dapat
dilalui oleh jati tetapi tidak oleh banyak jenis pohon lain.
Demikianlah, kebakaran hutan yang tidak terlalu besar justru
mengakibatkan proses pemurnian tegakan jati: biji jati terdorong untuk
berkecambah, pada saat jenis-jenis pohon lain mati.
Tanah yang sesuai adalah yang agak basa, dengan pH antara 6-8, sarang (memiliki aerasi yang baik), mengandung cukup banyak kapur (Ca, calcium) dan fosfor (P). Jati tidak tahan tergenang air.
Pada masa lalu, jati sempat dianggap sebagai jenis asing yang
dimasukkan (diintroduksi) ke Jawa; ditanam oleh orang-orang Hindu ribuan
tahun yang lalu. Namun pengujian variasi isozyme yang dilakukan
oleh Kertadikara (1994) menunjukkan bahwa jati di Jawa telah berevolusi
sejak puluhan hingga ratusan ribu tahun yang silam (Mahfudz dkk., t.t. ).
Karena nilai kayunya, jati kini juga dikembangkan di luar daerah penyebaran alaminya. Di Afrika tropis, Amerika tengah, Australia, Selandia Baru, Pasifik dan Taiwan.
Sebaran hutan Jati di Indonesia
Dalam beberapa tahun terakhir, ada upaya untuk mengembangkan jati di
Sumatera Selatan dan Kalimantan Selatan. Hasilnya kurang menggembirakan.
Jati mati setelah berusia dua atau tiga tahun. Masalahnya, tanah di
kedua tempat ini sangat asam. Jati sendiri adalah jenis yang membutuhkan
zat kalsium dalam jumlah besar, juga zat fosfor. Selain itu, jati
membutuhkan cahaya matahari yang berlimpah.
Sekarang, di luar Jawa, kita dapat menemukan hutan jati secara
terbatas di beberapa tempat di Pulau Sulawesi, Pulau Muna, daerah Bima
di Pulau Sumbawa, dan Pulau Buru. Jati berkembang juga di daerah Lampung
di Pulau Sumatera.
Pada 1817, Raffles mencatat jika hutan jati tidak ditemukan di
Semenanjung Malaya atau Sumatera atau pulau-pulau berdekatan. Jati hanya
tumbuh subur di Jawa dan sejumlah pulau kecil di sebelah timurnya,
yaitu Madura, Bali, dan Sumbawa. Perbukitan di bagian timur laut Bima di
Sumbawa penuh tertutup oleh jati pada saat itu.
Heyne, pada 1671, mencatat keberadaan jati di Sulawesi, walau hanya
di beberapa titik di bagian timur. Ada sekitar 7.000 ha di Pulau Muna
dan 1.000 ha di pedalaman Pulau Butung di Teluk Sampolawa. Heyne menduga
jati sesungguhnya terdapat pula di Pulau Kabaena, serta di Rumbia dan
Poleang, di Sulawesi Tenggara. Analisis DNA mutakhir memperlihatkan
bahwa jati di Sulawesi Tenggara merupakan cabang perkembangan jati jawa.
Jati yang tumbuh di Sulawesi Selatan baru ditanam pada masa 1960an
dan 1970an. Ketika itu, banyak lahan di Billa, Soppeng, Bone, Sidrap,
dan Enrekang sedang dihutankan kembali. Di Billa, pertumbuhan pohon
jatinya saat ini tidak kalah dengan yang ada di Pulau Jawa. Garis tengah
batangnya dapat melebihi 30 cm.
Daerah sebaran hutan jati di Jawa
Sedini 1927, hutan jati tercatat menyebar di pantai utara Jawa, mulai
dari Kerawang hingga ke ujung timur pulau ini. Namun, hutan jati paling
banyak menyebar di Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur, yaitu sampai
ketinggian 650 meter di atas permukaan laut. Hanya di daerah Besuki jati
tumbuh tidak lebih daripada 200 meter di atas permukaan laut.
Di kedua provinsi ini, hutan jati sering terbentuk secara alami
akibat iklim muson yang menimbulkan kebakaran hutan secara berkala.
Hutan jati yang cukup luas di Jawa terpusat di daerah alas roban
Rembang, Blora, Groboragan, dan Pati. Bahkan, jati jawa dengan mutu
terbaik dihasilkan di daerah tanah perkapuran Cepu, Kabupaten Blora,
Jawa Tengah.
Saat ini, sebagian besar lahan hutan jati di Jawa dikelola oleh
Perhutani, sebuah perusahaan umum milik negara di bidang kehutanan. Pada
2003, luas lahan hutan Perhutani mencapai hampir seperempat luas Pulau
Jawa. Luas lahan hutan jati Perhutani di Jawa mencapai sekitar 1,5 juta
hektar. Ini nyaris setara dengan setengah luas lahan hutan Perhutani
atau sekitar 11% luas Pulau Jawa.
Sifat-sifat kayu dan pengerjaan
Kayu jati merupakan kayu kelas satu karena kekuatan, keawetan dan
keindahannya. Secara teknis, kayu jati memiliki kelas kekuatan I dan
kelas keawetan I. Kayu ini sangat tahan terhadap serangan rayap.
Kayu teras jati berwarna coklat muda, coklat kelabu hingga coklat merah tua. Kayu gubal, di bagian luar, berwarna putih dan kelabu kekuningan.
Meskipun keras dan kuat, kayu jati mudah dipotong dan dikerjakan, sehingga disukai untuk membuat furniture
dan ukir-ukiran. Kayu yang diampelas halus memiliki permukaan yang
licin dan seperti berminyak. Pola-pola lingkaran tahun pada kayu teras
nampak jelas, sehingga menghasilkan gambaran yang indah.
Dengan kehalusan tekstur dan keindahan warna kayunya, jati
digolongkan sebagai kayu mewah. Oleh karena itu, jati banyak diolah
menjadi mebel taman, mebel interior, kerajinan, panel, dan anak tangga
yang berkelas.
Sekalipun relatif mudah diolah, jati terkenal sangat kuat dan awet,
serta tidak mudah berubah bentuk oleh perubahan cuaca. Atas alasan
itulah, kayu jati digunakan juga sebagai bahan dok pelabuhan, bantalan
rel, jembatan, kapal niaga, dan kapal perang. Tukang kayu di Eropa pada
abad ke-19 konon meminta upah tambahan jika harus mengolah jati. Ini
karena kayu jati sedemikian keras hingga mampu menumpulkan perkakas dan
menyita tenaga mereka. Manual kelautan Inggris bahkan menyarankan untuk
menghindari kapal jung Tiongkok yang terbuat dari jati karena dapat
merusak baja kapal marinir Inggris jika berbenturan.
Pada abad ke-17, tercatat jika masyarakat Sulawesi Selatan
menggunakan akar jati sebagai penghasil pewarna kuning dan kuning coklat
alami untuk barang anyaman mereka. Di Jawa Timur, masyarakat Pulau
Bawean menyeduh daun jati untuk menghasilkan bahan pewarna coklat merah
alami. Orang Lamongan memilih menyeduh tumbukan daun mudanya. Sementara
itu, orang Pulau Madura mencampurkan tumbukan daun jati dengan asam
jawa. Pada masa itu, pengidap penyakit kolera pun dianjurkan untuk
meminum seduhan kayu dan daun jati yang pahit sebagai penawar sakit.
Jati burma sedikit lebih kuat dibandingkan jati jawa. Namun, di
Indonesia sendiri, jati jawa menjadi primadona. Tekstur jati jawa lebih
halus dan kayunya lebih kuat dibandingkan jati dari daerah lain di
negeri ini. Produk-produk ekspor yang disebut berbahan java teak (jati
jawa, khususnya dari Jawa Tengah dan Jawa Timur) sangat terkenal dan
diburu oleh para kolektor di luar negeri.
Menurut sifat-sifat kayunya, di Jawa orang mengenal beberapa jenis jati (Mahfudz dkk., t.t.):
- Jati lengo atau jati malam, memiliki kayu yang keras, berat, terasa halus bila diraba dan seperti mengandung minyak (Jw.: lengo, minyak; malam, lilin). Berwarna gelap, banyak berbercak dan bergaris.
- Jati sungu. Hitam, padat dan berat (Jw.: sungu, tanduk).
- Jati werut, dengan kayu yang keras dan serat berombak.
- Jati doreng, berkayu sangat keras dengan warna loreng-loreng hitam menyala, sangat indah.
- Jati kembang.
- Jati kapur, kayunya berwarna keputih-putihan karena mengandung banyak kapur. Kurang kuat dan kurang awet.
Kegunaan kayu jati
Kayu jati mengandung semacam minyak dan endapan di dalam sel-sel
kayunya, sehingga dapat awet digunakan di tempat terbuka meski tanpa
divernis; apalagi bila dipakai di bawah naungan atap.
Jati sejak lama digunakan sebagai bahan baku pembuatan kapal laut, termasuk kapal-kapal VOC yang melayari samudera di abad ke-17. Juga dalam konstruksi berat seperti jembatan dan bantalan rel.
Di dalam rumah, selain dimanfaatkan sebagai bahan baku furniture kayu
jati digunakan pula dalam struktur bangunan. Rumah-rumah tradisional
Jawa, seperti rumah joglo Jawa Tengah, menggunakan kayu jati di hampir semua bagiannya: tiang-tiang, rangka atap, hingga ke dinding-dinding berukir.
Dalam industri kayu sekarang, jati diolah menjadi venir (veneer) untuk melapisi wajah kayu lapis mahal; serta dijadikan keping-keping parket (parquet) penutup lantai. Selain itu juga diekspor ke mancanegara dalam bentuk furniture luar-rumah.
Ranting-ranting jati yang tak lagi dapat dimanfaatkan untuk mebel,
dimanfaatkan sebagai kayu bakar kelas satu. Kayu jati menghasilkan panas
yang tinggi, sehingga dulu digunakan sebagai bahan bakar lokomotif uap.
Sebagian besar kebutuhan kayu jati dunia dipasok oleh Indonesia dan Myanmar.
Fungsi ekonomis hutan jati jawa: hasil hutan kayu
Sebagai jenis hutan paling luas di Pulau Jawa, hutan jati memiliki nilai ekonomis, ekologis, dan sosial yang penting.
Kayu jati jawa telah dimanfaatkan sejak zaman Kerajaan Majapahit.
Jati terutama dipakai untuk membangun rumah dan alat pertanian. Sampai
dengan masa Perang Dunia Kedua, orang Jawa pada umumnya hanya mengenal
kayu jati sebagai bahan bangunan. Kayu-kayu bukan jati disebut ‘kayu
tahun’. Artinya, kayu yang keawetannya untuk beberapa tahun saja.
Selain itu, jati digunakan dalam membangun kapal-kapal niaga dan
kapal-kapal perang. Beberapa daerah yang berdekatan dengan hutan jati di
pantai utara Jawa pun pernah menjadi pusat galangan kapal, seperti
Tegal, Juwana, Tuban, dan Pasuruan. Namun, galang kapal terbesar dan
paling kenal berada di Jepara dan Rembang, sebagaimana dicatat oleh
petualang Tomé Pires pada awal abad ke-16.
VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie, Kompeni Hindia Timur
Belanda) bahkan sedemikian tertarik pada “emas hijau” ini hingga
berkeras mendirikan loji pertama mereka di Pulau Jawa —tepatnya di
Jepara— pada 1651. VOC juga memperjuangkan izin berdagang jati melalui
Semarang, Jepara, dan Surabaya. Ini karena mereka menganggap perdagangan
jati akan jauh lebih menguntungkan daripada perdagangan rempah-rempah
dunia yang saat itu sedang mencapai puncak keemasannya.
Di pertengahan abad ke-18, VOC telah mampu menebang jati secara lebih
modern. Dan, sebagai imbalan bantuan militer mereka kepada Kerajaan
Mataram di awal abad ke-19, VOC juga diberikan izin untuk menebang lahan
hutan jati yang luas.
VOC lantas mewajibkan para pemuka bumiputera untuk menyerahkan kayu
jati kepada VOC dalam jumlah tertentu yang besar. Melalui sistem
blandong, para pemuka bumiputera ini membebankan penebangan kepada
rakyat di sekitar hutan. Sebagai imbalannya, rakyat dibebaskan dari
kewajiban pajak lain. Jadi, sistem blandong tersebut merupakan sebentuk
kerja paksa.
VOC kemudian memboyong pulang gelondongan jati jawa ke Amsterdam dan
Rotterdam. Kedua kota pelabuhan terakhir ini pun berkembang menjadi
pusat-pusat industri kapal kelas dunia.
Di pantai utara Jawa sendiri, galangan-galangan kapal Jepara dan
Rembang tetap sibuk hingga pertengahan abad ke-19. Mereka gulung tikar
hanya setelah banyak pengusaha perkapalan keturunan Arab lebih memilih
tinggal di Surabaya. Lagipula, saat itu kapal lebih banyak dibuat dari
logam dan tidak banyak bergantung pada bahan kayu.
Namun, pascakemerdekaan negeri ini, jati jawa masih sangat
menguntungkan. Produksi jati selama periode emas 1984-1988 mencapai
800.000 m3/tahun. Ekspor kayu gelondongan jati pada 1989 mencapai 46.000
m3, dengan harga jual dasar 640 USD/m3.
Pada 1990, ekspor gelondongan jati dilarang oleh pemerintah karena
kebutuhan industri kehutanan di dalam negeri yang melonjak. Sekalipun
demikian, Perhutani mencatat bahwa sekitar 80% pendapatan mereka dari
penjualan semua jenis kayu pada 1999 berasal dari penjualan gelondongan
jati di dalam negeri. Pada masa yang sama, sekitar 89% pendapatan
Perhutani dari ekspor produk kayu berasal dari produk-produk jati,
terutama yang berbentuk garden furniture (mebel taman).
Manfaat yang lain
Daun jati dimanfaatkan secara tradisional di Jawa sebagai pembungkus, termasuk pembungkus makanan. Nasi yang dibungkus dengan daun jati terasa lebih nikmat. Contohnya adalah nasi jamblang yang terkenal dari daerah Jamblang, Cirebon.
Berbagai jenis serangga hama jati juga sering dimanfaatkan sebagai bahan makanan orang desa. Dua di antaranya adalah belalang jati (Jw. walang kayu), yang besar berwarna kecoklatan, dan ulat-jati (Endoclita). Ulat
jati bahkan kerap dianggap makanan istimewa karena lezatnya. Ulat ini
dikumpulkan menjelang musim hujan, di pagi hari ketika ulat-ulat itu
bergelantungan turun dari pohon untuk mencari tempat untuk membentuk
kepompong (Jw. ungkrung). Kepompong ulat jati pun turut dikumpulkan dan dimakan.
Fungsi ekonomis lain dari hutan jati jawa
Jika berkunjung ke hutan-hutan jati di Jawa, kita akan melihat bahwa
kawasan-kawasan itu memiliki fungsi ekonomis lain di samping
menghasilkan kayu jati.
Banyak pesanggem (petani) yang hidup di desa hutan jati memanfaatkan
kulit pohon jati sebagai bahan dinding rumah mereka. Daun jati, yang
lebar berbulu dan gugur di musim kemarau itu, mereka pakai sebagai
pembungkus makanan dan barang. Cabang dan ranting jati menjadi bahan
bakar bagi banyak rumah tangga di desa hutan jati.
Hutan jati terutama menyediakan lahan garapan. Di sela-sela pepohonan
jati, para petani menanam palawija berbanjar-banjar. Dari hutan jati
sendiri, mereka dapat memperoleh penghasilan tambahan berupa madu,
sejumlah sumber makanan berkarbohidrat, dan obat-obatan.
Makanan pengganti nasi yang tumbuh di hutan jati misalnya adalah gadung (Dioscorea hispida) dan uwi (Dioscorea alata). Bahkan, masyarakat desa hutan jati juga memanfaatkan iles-iles (Ammorphophallus) pada saat paceklik. Tumbuhan obat-obatan tradisional seperti kencur (Alpina longa), kunyit (Curcuma domestica), jahe (Zingiber officinale), dan temu lawak (Curcuma longa) tumbuh di kawasan hutan ini.
Pohon jati juga menghasilkan bergugus-gugus bunga keputihan yang
merekah tak lama setelah fajar. Masa penyerbukan bunga jati yang terbaik
terjadi di sekitar tengah hati —setiap bunga hidup hanya sepanjang satu
hari. Penyerbukan bunga dilakukan oleh banyak serangga, tetapi terutama
oleh jenis-jenis lebah. Oleh karena itu, penduduk juga sering dapat
memanen madu lebah dari hutan-hutan jati.
Masyarakat desa hutan jati di Jawa juga biasa memelihara ternak
seperti kerbau, sapi, dan kambing. Jenis ternak tersebut memerlukan
rumput-rumputan sebagai pakan. Walaupun para petani kadang akan mudah
mendapatkan rerumputan di sawah atau tegal, mereka lebih banyak
memanfaatkan lahan hutan sebagai sumber penghasil makanan ternak. Dengan
melepaskan begitu saja ternak ke dalam hutan, ternak akan mendapatkan
beragam jenis pakan yang diperlukan. Waktu yang tidak dipergunakan oleh
keluarga petani untuk mengumpulkan rerumputan dapat dimanfaatkan untuk
kegiatan lainnya.
Fungsi non-ekonomis hutan jati jawa
Pada 2003, sekitar 76% lahan hutan jati Perhutani di Jawa dikukuhkan
sebagai hutan produksi, yaitu kawasan hutan dengan fungsi pokok
memproduksi hasil hutan (terutama kayu). Hanya kurang dari 24% hutan
jati Perhutani dikukuhkan sebagai hutan lindung, suaka alam, hutan
wisata, dan cagar alam. Mengingat lahannya yang relatif cukup luas, hutan jati dipandang
memiliki fungsi-fungsi non-ekonomis yang penting. Fungsi-fungsi
non-ekonomis tersebut adalah sebagai berikut:
Fungsi penyangga ekosistem
Tajuk pepohonan dalam hutan jati akan menyerap dan menguraikan
zat-zat pencemar (polutan) dan cahaya yang berlebihan. Tajuk hutan itu
pun melakukan proses fotosintesis yang menyerap karbondioksida dari
udara dan melepaskan kembali oksigen dan uap air ke udara. Semua ini
membantu menjaga kestabilan iklim di dalam dan sekitar hutan. Hutan jati
pun ikut mendukung kesuburan tanah. Ini karena akar pepohonan dalam
hutan jati tumbuh melebar dan mendalam. Pertumbuhan akar ini akan
membantu menggemburkan tanah, sehingga memudahkan air dan udara masuk ke
dalamnya. Tajuk (mahkota hijau) pepohonan dan tumbuhan bawah dalam
hutan jati akan menghasilkan serasah, yaitu jatuhan ranting, buah, dan
bunga dari tumbuhan yang menutupi permukaan tanah hutan. Serasah menjadi
bahan dasar untuk menghasilkan humus tanah. Berbagai mikroorganisme
hidup berlindung dan berkembang dalam serasah ini. Uniknya,
mikroorganisme itu juga yang akan memakan dan mengurai serasah menjadi
humus tanah. Serasah pun membantu meredam entakan air hujan sehingga
melindungi tanah dari erosi oleh air.
Fungsi biologis
Jika hutan jati berbentuk hutan murni —sehingga lebih seperti ‘kebun’
jati— erosi tanah justru akan lebih besar terjadi. Tajuk jati rakus
cahaya matahari sehingga cabang-cabangnya tidak semestinya bersentuhan.
Perakaran jati juga tidak tahan bersaing dengan perakaran tanaman lain.
Dengan demikian, serasah tanah cenderung tidak banyak. Tanpa banyak
tutupan tumbuhan pada lantai hutan, lapisan tanah teratas lebih mudah
terbawa oleh aliran air dan tiupan angin.
Untunglah, hutan jati berkembang dengan sejumlah tanaman yang lebih
beragam. Di dalam hutan jati, kita dapat menemukan bungur (Lagerstroemia
speciosa), dlingsem (Homalium tomentosum), dluwak (Grewia paniculata),
katamaka (Kleinhovia hospita), kemloko (Phyllanthus emblica), Kepuh
(Sterculia foetida), kesambi (Schleichera oleosa), laban (Vitex
pubscens), ploso (Butea monosperma), serut (Streblus asper), trengguli
(Cassia fistula), winong (Tetrameles nudflora), dan lain-lain. Lamtoro
(Leucenia leucocephalla) dan akasia (Acacia villosa) pun ditanam sebagai
tanaman sela untuk menahan erosi tanah dan menambah kesuburan tanah.
Daerah Gunung Kidul, Yogyakarta, yang gersang dan rusak parah sebelum
1978, ternyata berhasil diselamatkan dengan pola penanaman campuran
jati dan jenis-jenis lain ini. Dalam selang waktu hampir 30 tahun, lebih
dari 60% lahan rusak dapat diubah menjadi lahan yang menghasilkan.
Penduduk setempat paling banyak memilih menanam jati di lahan mereka
karena melihat nilai manfaatnya, cara tanamnya yang mudah, dan harga
jual kayunya yang tinggi. Mereka mencampurkan penanaman jati di kebun
dan pekarangan mereka dengan mahoni (Swietenia mahogany), akasia (Acacia
villosa), dan sonokeling (Dalbergia latifolia).
Daerah Gunung Kidul kini berubah menjadi lahan hijau yang berhawa
lebih sejuk dan memiliki keragaman hayati yang lebih tinggi. Perubahan
lingkungan itu telah mengundang banyak satwa untuk singgah, terutama
burung —satwa yang kerap dijadikan penanda kesehatan suatu lingkungan.
Selain itu, kekayaan lahan ini sekaligus menjadi cadangan sumberdaya
untuk masa depan.
Fungsi sosial
Banyak lahan hutan jati di Jawa, baik yang dikukuhkan sebagai hutan
produksi maupun hutan non-produksi, memberikan layanan sebagai pusat
penelitian dan pendidikan, pusat pemantauan alam, tempat berekreasi dan
pariwisata, serta sumber pengembangan budaya.
Yang mungkin paling menarik untuk dikunjungi adalah Monumen Gubug
Payung di Cepu, Blora, Jawa Tengah. Tempat ini merupakan museum hidup
dari pepohonan jati yang berusia lebih dari seabad, setinggi rata-rata
di atas 39 meter dan berdiameter rata-rata 89 sentimeter.
Kita dapat menikmati pemandangan hutan dari ketinggian dengan
menumpang loko “Bahagia”. Di sini, kita juga dapat meninjau Arboretum
Jati; hutan buatan dengan koleksi 32 jenis pohon jati yang tumbuh di
seluruh Indonesia. Ada juga Puslitbang Cepu yang mengembangkan bibit
jati unggul yang dikenal sebagai JPP (Jati Plus Perhutani). Pengunjung
boleh membeli sapihan jati dan menanamnya sendiri di sini. Pengelola
kemudian akan merawat dan menamai pohon itu sesuai dengan nama
pengunjung bersangkutan.
Dipan Jati sumber : jeparacrafts.com
Dipan set Jati sumber : mebelkayuminimalis.blogspot.com
Kursi kayu Jati Sumber : riskaindah2010.blogspot.com
Kursi kayu Jati sumber : kajukonah.com
Kursi kayu Jati sumber : productsdb.com
Lemari Jati sumber : ajilbab.com
a
Lemari Jati sumber : indojatifurniture.com
Dipan Jati sumber : jeparacrafts.com
Dipan set Jati sumber : mebelkayuminimalis.blogspot.com
Kursi kayu Jati Sumber : riskaindah2010.blogspot.com
Kursi kayu Jati sumber : kajukonah.com
Kursi kayu Jati sumber : productsdb.com
Lemari Jati sumber : ajilbab.com
a
Lemari Jati sumber : indojatifurniture.com
Jenis yang berkerabat
Seluruhnya, ada tiga anggota genus Tectona. Selain jati Tectona grandis yang diuraikan di atas, dua yang lain adalah:
- Jati Dahat (Dahat Teak, Tectona hamiltoniana), sejenis jati endemik di Myanmar, yang kini sudah langka dan terancam kepunahan.
- Jati Filipina (Philippine Teak, Tectona philippinensis), jati endemik dari Filipina; juga terancam kepunahan.
Pada pihak lain, ada pula jenis-jenis pohon atau tumbuhan lain yang dinamai jati meski tidak berkerabat. Di antaranya:
- Jati sabrang atau sungkai (Peronema canescens)
- Jati putih (Gmelina arborea)
- Jati pasir (Guettarda speciosa)
- [[[jabon]] (antocephalus cadamba)01:58, 1 Mei 2011 (UTC)
No comments:
Post a Comment