Bukan berbuah lebah, tapi tempat bergantungnya kerajaan lebah. Dengan pagar adat masyarakat pinggiran hutan, madu yang dihasilkan bisa dinikmati secara turun-temurun. Sayang, kini terancam oleh masyarakat luar. Sialang itu sebutan bagi pohon tinggi besar yang dihuni oleh ratusan kerajaan lebah. Puncaknya menjulang jauh di atas atap hutan. Maklum, tingginya rata-rata 50 m atau lebih dengan garis tengah batang 2 m. Kebanyakan berdaun kecil sehingga kalau angin bertiup, ya lewat saja. Jadi, tidak gampang tumbang oleh topan badai.
Beberapa contoh pohon sialang itu antara lain pohon benuwang Octomeles sumatrana, cempedak air Artocarpus maingayi, pohon tualang Koompassia parvifalia, dan menggeris K. excelsa. Di Kalimantan jenis ini terkenal sebagai pohon tapang (pohon lebah). Lebah hutan memilih cabang yang terbuka, bebas dedaunan, di daerah atasan pohon, untuk membangun sarang gandul yang bisa didarati dan ditinggallandasi dengan bebas. Satu dahan bisa ditempati 20 sarang lebah. Pada satu pohon kadang bisa ditemukan 100 – 200 sarang gandul seperti itu.
Penduduk pinggir hutan selalu melestarikan pohon sialang yang meraksasa semacam itu. Bukan karena percaya bahwa pohon itu dihuni oleh roh halus mahasakti, tetapi karena sarang lebah yang bergantungan pada dahannya bisa menghasilkan duit. Tidak ada orang waras yang mau menghancurkan sumber duit semacam itu.
Kalau ada bagian hutan yang dibabat untuk dijadikan ladang bertanam padi atau jagung, pohon sialang selalu dibiarkan tetap berdiri. Tidak boleh diikutsertakan dalam proyek tebang habis. Lagi pula kayunya yang sudah tua begitu keras, sehingga bisa merusak mata kapak dan gergaji.
Tidak mengherankan jika kaum lebah hutan suka tinggal di pohon aman yang tidak diganggu itu. Ini benar-benar sumber madu yang bisa memberi manfaat turun-temurun kepada seluruh suku bangsa. Sarang (kerajaan) lebah selalu dipimpin oleh seekor ratu yang tugasnya kawin dan beranak melulu. Sarang gandul mereka berbentuk kerucut terbalik. Bagian pangkal yang lebar menempel pada dahan, sedangkan ujung kerucut yang runcing menyambung di bawahnya. Bagian yang mengandung madu ialah pangkal yang lebar itu. Bagian tengah berisi anak-anak lebah, sedangkan ujung bawahnya cuma berisi kotoran serta lilin lebah.
Pesta kembang api
Di hutan daerah perbatasan Jambi dan Palembang, pohon sialang merupakan milik masyarakat bersama, sesuai hukum adat. Panen madu hasil karya lebah pun dilakukan sesuai hukum adat, dengan bagi hasil yang adil dan makmur. Di masyarakat Pangkalankuras (Jambi), misalnya, hasil madu dibagi dengan porsi 20% untuk para pekerja yang mengambil madu, 20% untuk kepala suku, dan 60% dibagi rata untuk anggota suku. Hasil madu dijual kepada para pedagang antarpulau yang membawa duit dan kemakmuran bagi seluruh suku.
Madu dipetik pada waktu malam hari oleh para juragan saat bulan tidak bersinar. Sebab, kalau ada cahaya, lebah masih begadang, berdengung-dengung di sekitar sarang. Biasanya dilakukan oleh lima juragan mudo yang bertugas memanjat pohon, dan satu juragan tua yang tidak ikut memanjat pohon. Ia memanjat yang lain, yakni memanjatkan doa.
Tangga untuk memanjat pohon setinggi 50 m itu berupa batang kayu bulat yang disambung-sambung. Sambil memanjat, juragan mudo ini membawa obor dari kulit pohon kepayang. Sengaja dipilih pohon kepayang karena kalau kering ia mudah sekali memijar, tapi tidak sampai menyala menjadi api, melainkan rontok. Justru rontok sambil memijar ini yang diinginkan. Lebah-lebah akan mengejar rontokan obor yang jatuh seperti hujan kembang api. Suatu pemandangan yang indah di gelapnya malam gulita. Lalu tidak ada yang peduli lagi pada juragan muda yang akan mengambil madu.
Madu dipetik pada waktu malam hari oleh para juragan saat bulan tidak bersinar. Sebab, kalau ada cahaya, lebah masih begadang, berdengung-dengung di sekitar sarang. Biasanya dilakukan oleh lima juragan mudo yang bertugas memanjat pohon, dan satu juragan tua yang tidak ikut memanjat pohon. Ia memanjat yang lain, yakni memanjatkan doa.
Tangga untuk memanjat pohon setinggi 50 m itu berupa batang kayu bulat yang disambung-sambung. Sambil memanjat, juragan mudo ini membawa obor dari kulit pohon kepayang. Sengaja dipilih pohon kepayang karena kalau kering ia mudah sekali memijar, tapi tidak sampai menyala menjadi api, melainkan rontok. Justru rontok sambil memijar ini yang diinginkan. Lebah-lebah akan mengejar rontokan obor yang jatuh seperti hujan kembang api. Suatu pemandangan yang indah di gelapnya malam gulita. Lalu tidak ada yang peduli lagi pada juragan muda yang akan mengambil madu.
Sesudah semua lebah terusir dari sarang, barulah ayunan obor yang menghasilkan rontokan kembang api tadi dihentikan. Dengan sepotong bambu yang tajam, kepala sarang gandul dipotong dan ditampung ke dalam timbo (ember berbentuk kerucut yang terbuat dari kulit kayu) untuk diulur ke bawah. Tiba di bawah, timbo dilepas dari talinya oleh anggota tim pembantu, dan sarang lebah bermadu pun kemudian dipindah ke wadah lain.
Menyanyi mutlak perlu
Di hutan Pangkalankuras, Kabupaten Kampar, Riau daratan, pemungutan madu dilakukan dengan menumbai (mendendangkan pantun mantera). Sudah sejak berada di pangkal batang pohon sialang seorang juragan mudo menyanyikan tumbai untuk mengajak para lebah segera tidur. Ini sudah malam, noh!
Lalu disusul tumbai untuk meminta lebah agar tidak menegur juragan karena juragan muda tidak berbahaya. Anggap saja ia itu seekor anak tupai yang sedang bermain-main. Sesudah berhasil naik sampai cabang pertama, si juragan muda nyanyi lagi. Kali ini ditujukan kepada roh halus penghuni sialang. Permisi, mau numpang lewat.
Tiba di dahan yang ada sarang lebahnya, ia berdendang lagi. Kali ini berupa rayuan gombal kepada para lebah yang sudah tidur. Alangkah indah sarang Anda, dan hitam manis tubuh Anda benar-benar menggelorakan darah muda.
Sebelum mengayun-ayunkan obor pencetus kembang api, ia menyanyikan tumbai lagi untuk menyampaikan salam (Raja) Sulaiman, raja seru sekalian alam binatang, termasuk lebah hutan. Kendati begitu, terkadang lebah-lebah itu tetap membandel. Tidak mau meninggalkan sarangnya. Kalau lebah tidak mau pergi mengejar kembang api dan kemudian malah menyengat tangan atau kepala, si juragan muda tidak marah dan membunuh lebah yang nakal itu. Ia malah berdendang lagi, … itam mani baiknyo laku awak diam dicubitnyo (Aduh, hitam manis yang baik, tega-teganya dikau menyengat diriku ini yang sudah diam sediam-diamnya).
Bijak, tetapi tinggal kenangan
Sesudah merasa cukup memungut sarang bermadu, juragan muda tidak lupa menyanyikan lagu tumbai pamit kepada roh penghuni pohon sialang. Habis itu ia mendendangkan lagi pantun imbauan kepada para lebah yang tergusur dan gentayangan di daerah bawahan agar sudi kiranya kembali ke puing-puing sarang di atas lagi. Kalau bisa, tidak usah lama-lama supaya dahan pohon tidak menanti-nanti ….
Sementara itu fajar yang sudah menyingsing membuat kawanan lebah yang mengungsi bergerak ke atas bersama ratu yang turut mengungsi. Mereka mencari tempat bekas istana kerajaan yang sudah porak poranda untuk membangun istana lagi yang baru. Komplet dengan gudang penyimpanan madu seperti yang sudah dicuri oleh juragan muda.
Kebijakan melestarikan pohon sialang dan pemungutan hasil lebah hutan yang sustainable oleh masyarakat suku itulah yang membuat sumber penghasilan dari lebah hutan bisa dimanfaatkan secara turun-temurun. Keadaan menjadi runyam setelah di beberapa tempat hutan dikuasai oleh para pendatang dari luar. Pohon sialang banyak yang ditebang bersama hasil hutan (kayu) lain yang diekspor. Atau dibabat habis karena lahan akan digunakan untuk membangun perkebunan inti rakyat.
Sumber : http://anekaplanta.wordpress.com
No comments:
Post a Comment